Mobile & Wireless is an Independent Blog Concerning Various Information, My Thoughts, Ideas, and Sometime Critics on ICT, Internet, Mobile, Wireless, and Data Communication Technology

Bersaing di ranah Digital Home

  • Posted: Monday, December 12, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Persaingan di lahan “Digital Home” tampaknya akan semakin marak, dimana perangkat keras dan peranti lunak akan saling adu keunggulan. Intel dan Microsoft diperkirakan akan menjadi pemain utamanya.

Pasar “Digital Home” atau “Connected Home” diperkirakan siap-siap meledak, dan jika itu terjadi, maka perusahaan yang akan akan menjadi pemain terbesarnya adalah Intel dan Microsoft. Intel tampaknya akan menjadi perusahaan yang paling berpengaruh, terutama karena untuk kepentingan Digital Home ini, Intel berperan mendorong bagaimana industri komputer, perangkat elektronik konsumen dan komunikasi untuk menyatu.

Mengapa demikian? Karena, nantinya, ketiga jenis perangkat itu akan muncul hanya dalam satu perangkat, yakni Media Server yang akan menjadi pusat dari berbagai “kemampuan” yang selama ini ada di masing-masing perangkat secara mandiri. Teknologi yang dikembangkan Intel dalam beberapa perangkat keras komputer dan keunggulan peranti lunak Microsoft akan berperan banyak dalam perkembangan ini.

Kumpulan lagu-lagu yang selama ini disimpan dalam pita kaset, CD atau DVD misalnya, nantinya dapat disimpan dalam bentuk file digital di hard disk atau server. Karena ukuran file digital yang relatif sangat kecil, maka akan mungkin menyimpan ribuan lagu, gambar atau foto, ratusan film/video hanya dalam satu server yang berkapasitas puluhan atau ratusan gigabyte (GB).

Selain itu, kemudahan menyimpan dan mengelolanya memungkinkan kemudahan dalam mengakses dan memainkannya. Yang menarik, bukan itu saja, memainkannya pun dapat dilakukan di berbagai perangkat elektronik lainnya, misalnya PC, laptop, TV atau perangkat khusus lainnya, di mana dan kapan saja diinginkan, bahkan secara bersamaan di ruang yang berbeda.

Dengan begitu, berbagai perangkat elektronik yang selama ini ada, yang secara khusus hanya dapat melakukan sejumlah fungsi tertentu, misalnya tape recorder untuk merekam dan memainkan lagu yang di simpan dalam kaset, baik portabel ( walkman ) atau non-portabel ( tape deck ), nantinya tak dibutuhkan lagi. Bahkan, dewasa ini telah muncul perangkat “connected” yang menggunakan suatu server yang dapat menyimpan ribuan lagu digital yang dapat dimainkan melalui suatu “player” berbentuk kotak yang dapat diakses secara jarak jauh dan nirkabel.

Beralih ke Media Server
Dengan satu perangkat yang terdiri dari sebuah server, yang dilengkapi sebuah “kotak pintar” dan sepasang speaker serta remote control , Anda sudah dapat menikmati ribuan lagu dengan mudah di mana pun Anda inginkan di dalam rumah. Artinya, Anda tak perlu lagi memiliki tape recorder , CD/DVD player konvensional secara terpisah, melainkan cukup sebuah kotak pintar dan sepasang speaker yang terhubunga ke sebuah Media Server itu saja.

Menariknya, hanya dengan satu server Anda dapat menambah (kotak+speaker) untuk ditempatkan di puluhan ruangan, dan Anda pun sudah dapat mendengar musik di masing-masing ruangan dengan lagu kesukaan masing-masing pada saat yang bersamaan.

Di sisi lain, dengan menggunakan peranti lunak Windows Media Player, WinAmp dan lainnya, Anda pun kini dapat memutar lagu di laptop atau komputer PC. Jika Anda menggunakan jaringan nirkabel, misalnya Wi-Fi, maka Anda pun dapat memutar lagu kapan saja dan di mana saja di dalam lingkungan rumah melalui laptop Anda. Bahkan, dapat juga melalui smartphone atau PDA phone Anda, kalau ponsel Anda sudah dilengkapi koneksi Wi-Fi atau men download nya ke ponsel menggunakan Bluetooth, infrared atau kabel.

Saat ini, bahkan sudah muncul berbagai perangkat elektronik konsumen lainnya, seperti refrigerator, TV, pemanggang roti dan lainnya yang “bisa saling berkomunikasi” satu sama lain, karena terhubung dalam suatu jaringan, malah berbasis nirkabel. Koneksi nirkabel ini, tampaknya, akan semakin mendominasi penggunaannya, terutama di rumah. Selain karena mudah, juga tidak dirumitkan dengan jaringan kabel yang sulit kalau perangkat yang digunakan akan dipindah-pindahkan. Dengan koneksi nirkabel, hal itu akan dapat dilakukan dengan lebih mudah, kapan saja diinginkan dan fleksibel.

Begitu juga dengan berbagai perangkat elektronik lainnya, seperti komputer PC, laptop, printer, scanner, copier dan lain sebagainya kini sudah banyak yang dapat dikoneksikan ke dalam suatu jaringan, baik berbasis kabel maupun nirkabel. Tren penggunaannya tak hanya di kantor-kantor besar di gedung-gedung, melainkan juga di rumah, misalnya SOHO ( Small Office Home Office ), yang di Indonesia hal ini juga sudah semakin berkembang.

Selain itu, muncul kecenderungan penggunaan berbagai perangkat yang bersifat multi-fungsi, misalnya printer, scanner, copier dan faks telah menyatu dalam satu mesin, yang bukan saja menjadi lebih sederhana dan mudah, juga fleksibel dan kompetitif. Yang dahulunya diperlukan empat mesin yang terpisah, kini cukup hanya dengan satu mesin, sehingga sangat efisien dan menghemat tempat.

Connected Home
Munculnya berbagai perangkat digital yang dapat dikoneksikan satu sama lain secara mudah, terutama secara nirkabel ke dalam suatu jaringan W-LAN (wireless local area network), memunculkan kecenderungan baru, yang tidak saja terkait dengan berbagai perangkat kerja, melainkan juga hiburan. Tak pelak, kini semakin banyak bermunculan berbagai jenis monitor yang mampu berfungsi ganda, baik sebagai monitor komputer maupun sebagai layar TV yang dapat digunakan untuk bekerja dan menonton film atau video, juga bermain games .

Menyatunya (dalam koneksi jaringan virtual) berbagai perangkat elektronik digital, baik dalam koneksi dan fungsi, yang kemudian mendorong munculnya konsep “Connected Home” atau juga “Digital Home”. Meski tak ada satu konsep tunggal, melainkan berbeda-beda, namun secara prinsipil yang dimaksud dengan Connected Home, adalah bagaimana berbagai perangkat elektronik digital yang berbeda-berbeda itu, kini dapat disatukan dalam koneksi jaringan virtual (nirkabel), sehingga satu sama lain dapat berkomunikasi.

Selain itu, dengan tersedianya berbagai konten digital, akan semakin memudahkan mengoptimalkan koneksi itu, karena konten digital yang berbeda-beda, misalnya musik, gambar, video dan informasi lainnya dan dapat diakses oleh beragam perangkat. Mendengar musik bisa di komputer, laptop, ponsel atau di player tertentu. Begitu juga menampilkan image atau foto misalnya, juga memutar video, dapat dilakukan di berbagai perangkat elektronik digital lainnya.

Itulah mengapa, baik Intel maupun Microsoft, dipandang akan menjadi pemain utama dalam revolusi ini. Karena, kedua perusahaan ini termasuk yang paling banyak mengambil inisiatif memunculkan integrasi atau menyatukan berbagai industri ke dalam satu tujuan “bersama” dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan konsumen, baik dalam konteks meningkatkan kinerja dalam bekerja maupun menikmati hiburan dan, bahkan, bermain games .

Namun, perkembangan itu berdampak lebih luas. “Hal itu bukan hanya merupakan suatu revolusi dalam berbagai industri, melainkan menciptakan suatu industri baru yang lebih fokus pada peluang pertumbuhan dalam digital home ,” ujar Louis Burns, Intel vice-president dan general manager , Desktop Platforms Group (DPG).

Karena peluang pertumbuhan yang sangat besar berada di dalam industri baru ini, maka menurut Burns, yang menjadi tantangan besar saat ini adalah bagaimana membangun suatu unified platform dan ekosistem lingkungan yang mendukungnya.

Bukan saja kita semakin membutuhkan satu PC dalam setiap rumah, sebagaimana pernah dicita-citakan oleh Bill Gates, bos Microsoft, melainkan lebih dari itu, yakni kita sesungguhnya menginginkan musik, video dan foto kemanapun kita pergi. Karenanya, apa yang dikembangkan Microsoft melalui Windows Media Player 10 bukan saja berarti suatu pembaruan terhadap software player , yang sebelumnya banyak digunakan di PC, tetapi lebih jauh dari itu.

Dengan diluncurkannya versi baru Media Center 2005, hal itu kini menjadi titik pusat strategi baru yang mencakup musik-musik yang secara legal di download dari Internet, juga termasuk rekaman TV, rekaman DVD, video di saku (PDA) dan musik di ponsel Anda. Nantinya, bahkan menjadi Media di mana saja.

Tantangan ke depan yang diperkirakan akan menjadi lahan persaingan baru mulai dari sekarang ini adalah, bagaimana menyediakan kebutuhan konsumen, yang setidaknya bisa dilihat dari tiga kriteria penting, yakni bagaimana hal itu mampu menjawab keinginan untuk mendapatkan konten digital di mana saja, kapan saja dan menggunakan perangkat apa saja.

Tiga Kriteria
Tiga kriteri yang menjadi titik perhatian industri dalam memenuhi kebutuhan itu, adalah:

Pertama , perangkat elektronik yang diproduksi harus mampu digunakan langsung begitu dikeluarkan dari kotak, tak perlu menginstal ini-itu, dan mudah digunakan, baik menghidupkan atau mematikan, mengoperasikan maupun mengakses. Karena, konsumen tak ingin menjadi ahli TI, tetapi ingin menggunakan suatu perangkat yang canggih dengan mudah dan memiliki fungsi yang beragam, yang semua itu berbasis digital dan TI.

Kedua , perangkat digital home , apapun jenisnya, harus mampu dengan mudah dan mulus terkoneksi dan berkomunikasi secara nirkabel. Termasuk, misalnya, kemampuan untuk menghentikan sementara ( pause ) pemutaran sebuah film yang ditonton melalui PC di kamar tamu dan memberikan ringkasan ceritanya di PC lain yang terdapat di kamar tidur.

Ketiga , mungkin merupakan yang terpenting, bahwa perangkat tersebut harus mampu menyediakan konten audio maupun video yang bermutu tinggi. Jadi, yang utama adalah bagaimana konsumen dapat mengakses konten kapan saja, di mana saja dan menggunakan perangkat apa saja yang dinginkan, baik untuk menikmati hiburan, belajar, produktivitas personal maupun keperluan komunikasi secara mudah dan bermutu tinggi.

Unified Platform
Intel dikenal sangat unggul dalam pembuatan chipset yang mendukung, dan sekaligus memunculkan berbagai konsep rancangan yang disebut unified platforms untuk keperluan digital home ini.

Misalnya saja, “Entertainment PC” sangat tipis yang dibangun menggunakan platform Prescott dan Grantsdale. PC ini menggunakan Windows XP Media Centre Edition dari Microsoft dan terhubung ke sebuah TV. Selain perangkatnya harus mampu digunakan untuk berbagi konten, ia juga harus dirancang untuk digunakan dengan remote control , dan bukannya keyboard . Nah, platform Kessler ini berhasil menyederhanakan digital home dengan mengintegrasikan semua perangkat yang berbeda-beda ke dalam satu unit tunggal.

Perkembangan inilah yang tampaknya akan semakin mewarnai industri baru “digital home” dimana produk-produk yang diproduksinya akan semakin mempengaruhi tren penggunaannya di jutaan rumah di seluiruh dunia mulai saat ini ke depan. Insa

Perlu pikiran lebih jernih

  • Posted: Sunday, December 11, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia terbukti tak hanya masalah ekonomi, seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar yang tinggi, industri yang semakin terpuruk, dan berbagai kendala pertumbuhan ekonomi. Tak juga hanya masalah politik yang bernama demokrasi, yang kemudian membuat setiap orang seperti memiliki hak untuk teriak dan melakukan protes, sementara pada saat yang sama dia lupa bahwa orang lain juga memiliki hak yang sama. Tak juga hanya masalah korupsi yang kian merajalela di hampir semua lini birokrasi dan kehidupan bangsa, yang tidak lagi memunculkan rasa malu karena telah “menghianati” anak-anak bangsa sendiri.

Indonesia mengalami degradasi yang parah, yang bersifat multidimensional. Setiap orang ingin terkenal, tetapi tak mau bersusah payah meraihnya dengan benar. Setiap orang ingin kaya dan terhormat, tetapi ingin meraihnya secara gampang, instan dan tak peduli apapun caranya. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan sejenisnya telah menjadi cara yang dianggap “wajar” dan “syah” untuk dilakukan. Semua ini menjadi kabut yang sangat pekat yang menyelimuti bangsa ini. Bencana demi bencana, berbagai musibah yang menimpa bangsa ini, dari tsunami, banjir, tanah longsor, merebaknya berbagai penyakit, sepertinya tak lagi menggetarkan jiwa banyak orang. Dan perilaku yang tidak benar itu pun sepertinya mengalir terus, tanpa tahu kapan akan berhenti dan siapa yang akan menghentikannya.

Dalam kondisi seperti itu, mungkin sangatlah naif, kalau kita masih berbicara mengenai penerapan teknologi informasi (TI) atau ICT, yang saat ini masih dikenali atau difahami oleh segelintir orang saja di negeri ini. Namun, apakah kenaifan itu yang akan terus kita bawa? Padahal bangsa ini tengah mengalami masalah yang sangat berat. Atau, akankah kita terus-menerus meneriakkan manfaat ICT bagi bangsa ini, tanpa upaya konkrit yang secara langsung bisa dirasakan oleh masyarakat?

Sebaliknya, apakah benar kalau kita berkomitmen menerapkannya di lingkungan birokrasi pemerintahan atau di mana saja dalam kehidupan masyarakat, hal itu akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan sehingga memberikan hasil sebagaimana diharapkan? Pertanyaan ini, mungkin masih akan terus muncul, meskipun kita menyadari bahwa banyak negara di dunia yang telah berhasil mengambil manfaat dari perkembangan dan kemajuan ICT tersebut.

Hanya saja, mentalitas dan visi dalam melihat bagaimana kemajuan ICT dapat memberi manfaat yang optimal bagi kemajuan bangsa ini, memang masih menyisakan tanda tanya besar. Masih diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk bisa berpikir jernih dan “kemauan” yang sungguh-sungguh untuk membangun bangsa ini.

Masalahnya, mungkin, tidak dengan ungkapan dan rencana yang muluk-muluk atau konsepsi yang besar-besar. Yang justru sangat diperlukan adalah kejernihan melihat masalahnya dari berbagai aspek, tak hanya ICT, tetapi juga lingkungan dan budaya masyarakat. ICT tak berdiri sendiri sebagai suatu solusi, melainkan ia akan menjadi bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yang jauh lebih rumit.

ICT, memang, bukan segala-galanya, namun ICT bisa menjadi pendorong bagi perkembangan dan kemajuan bangsa ini, dan itu, hanya dan hanya jika, petinggi bangsa ini dan seluruh masyarakat menyadari arah perjalanan yang akan dituju. Visi bangsa yang jelas, dan langkah kecil yang diambilnya saat ini akan berdampak besar ke masa yang akan datang.

Ungkapan Aa Gym yang menyatakan “ Mulailah dari yang kecil, Lakukanlah dari saat ini, dan Mulailah dari diri sendiri” mungkin tepat diperhatikan dan diterapkan. Akan sangat sulit menghadapi masalah yang besar, kalau masalah yang kecil, yang ada di sekitar diri sendiri saja, tak mampu diatasi. Namun, lebih dari itu, yang justru diperlukan adalah suatu langkah konkrit yang menjadi visi bangsa ini ke depan. Hal itu harus dilakukan meskipun hal itu dimulai dari langkah-langkah kecil. Tentu, seberapa besar “langkah kecil” itu akan sangat tergantung pada siapa yang melakukannya? Kalau diri sendiri, mungkin sangat kecil, namun kalau negara yang melakukannya, maka itu akan menjadi “langkah kecil” yang besar, karena dia mencakup kepentingan bangsa.

Karenanya, saat ini, kita sangat membutuhkan suatu visi yang jelas, tak hanya dari pemerintah, lembaga-lembaga negara, universitas dan lembaga-lembaga lainnya, maupun masyarakat. Visi itulah yang sesungguhnya akan membimbing bangsa ini menuju ke masa depan. Kejelasan visi itulah yang kemudian akan semakin jelas menempatkan di mana ICT bisa berperan besar dalam upaya mewujudkan visi itu menjadi kenyataan di negeri ini. Bukan sebaliknya, ICT dilihat secara berlebih-lebihan atau segala-galanya bagi bangsa ini, yang kemudian hal itu akan lebih dilihat sebagai “pelaksanaan sebuah proyek”, yang akan menguntungkan siapa, dan bukan sebagai suatu solusi yang strategis bagi kemajuan bangsa ini hari ini dan di masa depan.

Kecuali, kalau kita memang tidak ingin bangsa ini maju sebagaimana bangsa lain di dunia mencapai kemajuan yang pesat saat ini. Wallahu alam.

Refleksi

  • Posted: Saturday, November 12, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Perjalanan bangsa ini di dunia jasa dan teknologi informasi dan komunikasi dunia, tampaknya masih akan sangat jauh dan berliku-liku. Capaian-capaian yang telah berhasil diraih sejumlah negara tetangga terdekat Indonesia, seperti Malaysia dan Singapura, tak cukup menjadi “pembuka mata”, yang memberi semangat kuat untuk mengembangkannya di sini. Bangkitnya sejumlah negara lain yang masih dalam lingkup kawasan ASEAN, seperti Filipina, Thailand, dan bahkan terakhir Vietnam, yang mulai tampak mencuat belakangan ini, belum juga menjadi pemikiran yang sungguh-sungguh penyelenggara negara bangsa ini.

Dari berbagai pertemuan, baik sengaja maupun tidak, saya mendapat kesan yang kuat mengenai perlunya kita, sebagai bangsa, membangun suatu kerangka yang utuh dan jelas sebagai suatu visi masa depan bangsa. Hal itu, sekaligus merupakan suatu “harapan” yang besar agar penyelenggara Negara yang baru, hasil Pemilu 2004, didukung oleh berbagai unsur, baik pakar, universitas, dan juga praktisi ICT negeri ini untuk segera membuat langkah-langkah konkrit dalam menyikapi hal itu.

Lepas dari ribut-ribut untuk membangun departemen sendiri, sebagai perluasan peran Kominfo selama ini, namun di sisi lain, pemerintah mestinya menyikapinya dengan sungguh-sungguh dan tak hanya melihatnya dalam konteks satu masa suatu pemerintahan berjalan, yang hanya lima tahun. Melainkan, lebih dari itu.

Saya ingin mengambil contoh bagaimana Malaysia meraih titik keunggulan, khususnya dalam konteks pengembangan ICT (Information & Communication Technology). Meskipun, saya percaya, pengambilan contoh ini tidak terlalu ideal, namun apa yang berhasil diraih Malaysia, cukup signifikan. Kalaupun Indonesia akan membangun sesuai dengan visinya sendiri, namun bagaimana upaya Malaysia meraih keunggulan, mestinya bisa juga menjadi pelajaran penting. Bagaimana ide dan visi yang jelas kemudian direalisasikan secara sungguh-sungguh tahap demi tahap, hingga berbuah hasil.

Dalam era pemerintahan Dr Mahathir Mohammad, Malaysia berhasil merumuskan apa yang mereka sebut sebagai “Vision 2020”, yang menggambarkan bagaimana Malaysia di tahun 2020 dan titik keunggulan apa yang akan dimiliki negeri itu di tahun itu, yang kemudian dirunut ke belakang apa-apa yang seharusnya dilakukan sejak dirumuskannya visi itu ke depan. Hal yang sama juga sebenarnya dilakukan India, sekitar 40 tahun yang lalu. Hari ini, 15 tahun sebelum 2020, tak perlu diragukan lagi bahwa Malaysia telah banyak meraih keberhasilan, terutama dengan berkembangnya suatu proyek prestisius – Multimedia Super Corridor (MSC), yang dibangun pada 1997.

MSC, suatu kawasan ICT terbatas, menempati lahan seluas 15x50 kilometer persegi yang membentang antara Kuala Lumpur City Centre Towers (KLCC) dan Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Kawasan itu dimaksudkan sebagai tempat terjadinya interaksi antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi pendidikan (SDM), sehingga membentuk suatu kawasan unggulan ICT.

Pada saat yang sama, berbasis Vision 2020, Malaysia membangun National Information Technology Agenda (NITA), yang berperan mendukung pengembangan suatu masyarakat dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Guna mendukung arah pemberdayaan pengetahuan tersebut dibangunlah National Information Technology Council (NITC). Lembaga ini berperan penting sebagai konsultasi atau penasihat bagi pemerintah dalam pemanfaatan ICT untuk kepentingan pembangunan nasional.

Pembangunan MSC sendiri sepenuhnya dikelola oleh suatu institusi non-departemen, yakni Multimedia Development Corporation Sdn. Bhd (MDC), yang terbukti memberi banyak kemudahan dan insentif bagi berkembangnya investasi kelas dunia dari berbagai industri berbasis TI. Sejak awal, MSC memang ditujukan untuk menyediakan lingkungan yang memiliki beberapa karakteristik utama, yakni mendorong kreativitas dan inovasi, membantu kalangan bisnis dan perusahaan, baik Malaysia maupun mancanagera, untuk mencapai keunggulan teknologi, bermitra dengan pemain TI global, dan menyediakan peluang untuk saling memperkaya dan mencapai keberhasilan.

Hingga kini tak kurang dari 2,700 perusahaan ICT telah memilih Malaysia sebagai tempat investasi mereka, yang mencakup industri perangkat keras, pengembangan perangkat lunak, komputer, konsultasi ICT dan berbagai layanan ICT lainnya. Sedang MSC sendiri per 13 Januari 2004, telah berhasil menarik minat 976 perusahaan berstatus MSC (Multimedia Super Corridor), yang terdiri dari 934 perusahaan teknologi ICT dan 33 lembaga pendidikan tinggi ICT, serta 9 perusahaan inkubator bisnis.

Saat ini, MSC telah memasuki tahap kedua pengembangannya (2004-2010), yang akan fokus dalam upaya menjadikan, baik produk maupun jasa ICT dalam negeri, menjadi ekspor andalan Malaysia di masa datang. Hal itu dilakukan bersamaan dengan diluncurkannya tujuh aplikasi unggulan, yakni: Electronic Government, Multipurpose Card, Smart School, Telehealth, R&D Clusters, e-Business, dan Technopreneur Development.

Pembangunan technopreneur, merupakan sisi lain pencapaian Vision 2020, yang fokus dalam mendorong perkembangan usaha kecil menengah (UKM) ICT Malaysia melalui strategi mempercepat (catalyze) perusahaan-perusahaan ICT berdaya saing tinggi dan perusahaan berteknologi tinggi strategis, yang nantinya diperkirakan akan menjadi perusahaan kelas dunia. Perkembangan itu berdampak pada peningkatan ekonomi dan lapangan kerja, terutama yang berbasis pengetahuan. Ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah UKM ICT dari 300 perusahaan (1996) menjadi 1,850 tahun 2003.

Sejak diresmikannya, MSC mengalami perkembangan pesat. Tahun 2002, jumlah lapangan kerja yang telah diisi mencapai 17,000 orang, akhir 2003 mencapai 21,270 orang, dan 2004 mencapai 22,398 orang. Sekitar 86% pekerjaan itu diisi oleh tenaga kerja berbasis pengetahuan (knowledge worker). Sebagian besar pekerja TI merupakan tenaga pengembang/pemrogram peranti lunak, dimana 26% bergelar Doktor, 24% Master, 6% Sarjana, 10% Diploma dan 49% non-gelar.

Yang menarik, tak kurang dari 15,337 pekerja TI yang bekerja di lingkungan MSC atau 82,2% dari total pekerja merupakan warga Malaysia. Dari 2,746 pekerja TI asing, 54,9 % berasal dari India dan selebihnya dari Inggris. Sedang, nilai penjualan yang dihasilkan mencapai total RM 3,93 miliar atau USD 1,04 miliar (2002). Tahun 2004 meningkat mencapai RM 7,98 miliar atau USD 2,1 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2003 yang sebesar RM 5,86 miliar atau USD 1,39 miliar. Selain itu, pada 2003, tak kurang dari 276 kekayaan intelektual, berupa paten, desain industri dan merek dagang telah terdaftar. Akhir 2004 ini, diperkirakan jumlahnya akan meningkat 16% atau menjadi 320 buah.

Indonesia, dibandingkan Malaysia, memang memiliki penduduk sepuluh kali lipat, yakni mencapai 220 juta. Kompleksitas masalah yang dihadapinya juga jauh berbeda dan mungkin jauh lebih berat. Namun, kalau kita melihat bagaimana India dan China membangun, yang dari kapasitas jumlah penduduknya lima sampai enam kali lebih besar dari Indonesia, bukankah juga mereka menghadapi beban berat dan kesulitan yang besar. Tetapi, faktanya mereka berhasil membangun ekonomi dan sejumlah keunggulan. Itu karena mereka memiliki visi yang jelas dan pencapaian yang secara bertahap dilakukan mengacu pada visi tersebut.

Hal itu pula, yang menurut saya, menjadi keprihatinan banyak orang yang saya jumpai, yang intinya mengharapkan perlunya suatu arahan yang jelas, sehingga masing-masing peran yang dapat dimainkan juga semakin jelas arah dan pencapaiannya. Ibarat suatu simfoni, lagu yang akan dimainkan harus jelas lebih dahulu, sehingga peran conductor menjadi sangat berarti dalam mengharmonisasikan semua nada yang dimainkan.

Begitu juga, memuaskan semua pihak, jelas tidak mungkin, tetapi sebaliknya mengabaikan sesuatu yang terbukti telah secara signifikan mendorong perekonomian dan pertumbuhan banyak negara, ICT sepantasnya diberi perhatian. ICT, yang tak hanya dilihat dari konteks industri dan bisnis, melainkan juga bagaimana ICT akan memberi peran dan kontribusi bagi pencapaian pembangunan nasional pada sebagian besar sektor, kalaupun tak semua, yang telah dicanangkan.

Tak ada lagi langkah surut, tak perlu lagi membuat alibi dengan berbagai kelemahan dan kekurangan, tetapi sebaliknya bagaimana setahap demi setahap hal itu dilakukan, tentu dengan visi yang jelas mau kemana bangsa ini diarahkan dan titik keunggulan apa yang akan dicapai, serta di mana dan bagaimana ICT dapat berperan. Jangan biarkan berbagai inisiatif yang telah dikembangkan sebelumnya kemudian hilang dan lenyap bagaikan ditelan bumi. Sementara, setiap saat, kita membicarakan dan menyaksikan bagaimana bangsa-bangsa lain di dunia memperoleh pencapaian yang sangat berarti melalui ICT.

Bukan berarti saya menafikan apa yang telah diraih di dalam negeri hingga saat ini, namun mestinya banyak hal yang bisa kita raih lebih baik dan bernilai strategis. Dan, di sisi lain, tulisan ini tak hendak dimaksudkan untuk mengasini air laut, tetapi tak jarang pikiran-pikiran yang sederhana bisa juga memberikan sesuatu yang lebih bermakna. Apalagi, siapapun yang memiliki concern besar, baik karena kemampuan dan keahliannya, mau mengontribusi untuk pencapaian yang lebih besar ke depan bagi bangsa tercinta ini. Selamat tahun baru 2005, semoga jayalah bangsaku – Indonesia. Insya Allah.

Menebar Janji Masa Depan

  • Posted: Thursday, November 10, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column


Berbagai teknologi canggih, meski tak semuanya baru, tampaknya akan segera mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat dunia, baik personal, keluarga maupun bisnis.

Singapura, negeri berpenduduk sekitar 3 juta jiwa (plus pendatang mencapai 3,8 juta jiwa) ini boleh berbangga karena berhasil menyelenggarakan suatu pameran dan konperensi internasional CommunicAsia2005 pada 14-17 Juni 2005 bertempat di Singapore Expo. CommunicAsia, pameran dagang dan konperensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), merupakan ajang bergengsi bagi para pelaku bisnis dan pakar TI dan Komunikasi dunia.

CommunicAsia sendiri pertama kali digelar tahun 1979 dan kemudian menjadi agenda tahunan yang secara rutin diselenggarakan hingga saat ini. Belakangan, juga menampilkan sub-pameran lainnya, seperti MobileCommAsia2005, NetworkAsia2005 dan SatComm2005. Selain itu, dua pameran lain secara bersamaan diselenggarakan, yakni EnterpriseIT2005 dan BroadcastAsia2005, sehingga menambah lengkap ajang pameran teknologi terbesar Asia ini.

Tahun ini, tak kurang dari 60.552 pengunjung menghadiri pameran itu, dimana 48,4 persen di antaranya berasal dari luar Singapura. Sementara peserta pamerannya sendiri mencapai 2.238 perusahaan yang datang dari 55 negara dan menempati lahan seluas 62.000 meter persegi. Sedang konperensi yang diselenggarakan berkenaan dengan CommunicAsia dan BroadcastAsia dihadiri oleh tak kurang dari 1.600 delegasi dan pembicara dari seluruh dunia.

Perkembangan teknologi 3G tampaknya menarik minat banyak kalangan. Karena 3G diyakini sebagai jaringan yang memungkinkan tersedianya layanan data dan video nirkabel berkecepatan tinggi. Pada saat yang sama, teknologi ini juga akan meningkatkan kualitas layanan suara yang selama ini sudah ada, baik melalui GSM maupun CDMA.

Optimisme kemajuan penerapan layanan 3G ini memang tidak berlebihan, terutama kalau kita melihat keberhasilan Jepang dan Korea. Di Jepang sendiri lebih dari 31 juta pelanggan 3G yang berhasil digaet NTT DoCoMo (FOMA) dan KDDI (CDMA2000 1xEVDO). Sementara di Korea pelanggan 3G (termasuk 1xRTT) sudah mencapai 30 juta dan diperkirakan akan terus meningkat. Di sisi lain, Korea mengembangkan WiBro yang dianggap sebagai turunan WiMAX untuk mendukung layanan komunikasi data kapasitas besar berupa wireless broadband.

IDC, firma riset pasar TI dan konsultansi ternama, mmperkirakan pada 2009 mendatang pelanggan layanan 3G akan mencapai 127,4 juta di kawasan Asia. Tahun lalu, jumlah baru mencapai 10,2 juta, sehingga berarti rata-rata peningkatan jumlah pelanggan 3G akan mencapai 66 persen setiap tahunnya.

Beberapa pemain utama, seperti Siemens, Huawei, Motorola, Ericsson seakan berlomba menampilkan solusi 3G mereka dengan berbagai solusi, baik jaringan, kartu data maupun perangkat handset. Tak mau kalah, Samsung dan LG dari Korea dan DoCoMo dari Jepang juga menghadirkan berbagai handset 3G terbaru mereka.

Penerapan 3G di Asia mengusung dua teknologi utama, yakni WCDMA dan CDMA2000 1xEVDO. Tetapi, WCDMA meski sekarang ini dinilai masih sejajr dengan 1xEVDO, namun ke depan akan meningkat dengan hadirnya teknologi HSDPA, yang diperkirakan mampu menyampaikan data dengan kecepatan hingga 14,4Mbps. Siemens mendemonstrasikan kartu data HSDPA untuk laptop yang dianggap sebagai akselerator transfer data kecepatan tinggi, terutama bagi 3G WCDMA. Dengan kartu data itu, Siemens membantu para pelanggannya untuk mengoptimalkan penggunaan pita frekuensi, karena kecepatan download-nya dapat mencapai hingga 3 Mbps, yang dipandang setara dengan yang dapat dilakukan DSL (kabel).

Untuk pertama kalinya di Asia Tenggara, Ericsson mendemonstrasikan teknologi HSDPA-nya yang mampu mentransfer data hingga 11Mbps, sehingga pengguna ponsel 3G dapat menikmati kemudahan mendownload aplikasi video streaming. Ericsson juga mendemonstrasikan ”high performance broadband” berupa akses Internet kecepatan tinggi, TV interaktif dan layanan multimedia, seperti messaging, voice dan video telephony, dan connected home.

Sementara Samsung mengintrodusir berbagai produk yang sangat inovatif, baik ponsel 3G maupun teknologi infrastrukturnya. Pada kesempatan itu, Samsung memperkenalkan kamera ponsel 7 megapiksel yang pertama di dunia – Samsung SCH-V770. Ponsel yang mengusung kamera 7MP ini, lebih dikenal sebagai kamera berponsel, daripada ponsel berkamera. Didukung CCD image sensor 1/1.8 inci, memori internal 32MB, ponsel ini juga dilengkapi pembaca kartu nama, MP3 player, Adobe Photoshop, dan digital power amplifier.

Dengan tema ”Mobile Convergence”, sebenarnya Samsung menunjukkan kepiawaiannya dalam perangkat mobile 3G, kamera ponsel, dan kapabilitas multimedia, seperti musik, HDD storage, broadcasting dan juga infrastruktur. Tema konvergensi ini juga dibawa oleh Sony Ericsson dengan menampilkan, salah satunya gizmo yang berbasis Walkman, Sony Ericsson W800i. Meskipun ponsel MP3 sudah ada sejak beberapa tahun lalu, namun Sony Ericsson melengkapi ponsel Walkman-nya dengan Memory Stick PRO Duo 512MB (dapat ditingkatkan hingga 2GB) dan baterai yang tahan 30 jam, yang diperkirakan akan menarik minat kalangan muda. Kapabilitas MP3-nya memungkinkan lagu-lagu diperdengarkan pada hi-fi stereo dan speaker mobil melalui MMC-60 Music Cable atau HCA-60 Advanced Car Handsfree.

Untuk soal musik ini, Unified Communication menampilkan inovasinya melalui layanan Background Music, yang merupakan layanan yang pertama di Asia. Layanan ini memungkinkan pelanggan telepon bergerak dan tetap dapat mengaktifkan lagu-lagu dari album musik sambil berbicara di telepon. Pelanggan dapat melakukan pre-program berbagai musik kegemaran mereka yang berbeda-beda dan kapan musik itu akan diperdengarkan tanpa mengganggu pembicaran telepon yang dilakukan. Selain itu, pelanggan juga dapat mengatur volume, mengganti musik cukup dengan menggunakan interface seperti IVR, Web, WAP, i-mode, USSD dan SMS.

Selain perkembangan 3G, kemajuan teknologi WiMAX juga menjadi perhatian para pengunjung. Beberapa pemain besar, seperti Siemens, Huawei, Motorola, tampil dengan berbagai solusi WiMAX mereka. Siemens juga menampilkan solusi WiMAX-nya yang disebut SkyMAX, yang merupakan produk WiMAX pertama yang mendapatkan sertifikasi.

SkyMAX menyediakan konektivitas broadband nirkabel untuk para pengguna tetap, portabel dan nomadik yang berada dalam radius area layanan 25-30 km. SkyMAX merupakan platform solusi bagi kalangan bisnis dan rumah yang didukung teknologi OFDM, dimana sistemnya bekerja pada frekuensi 2.3/2.5 GHz dan 3.5GHz. SkyMAX dirancang sebagai solusi komunikasi suara bermutu tinggi, akses Internet kecepatan tinggi, termasuk layanan video streaming.

Hal lain yang menarik adalah sejumlah perusahaan broadcast Korea menampilkan solusi Digital Multimedia Broadcasting (DMB), yang layanannya sendiri sudah diluncurkan di Seoul secara nasional (DMB satelit), sedang yang terestrial di Seoul. Pendukungnya tak lain Samsung dan LG. Selain itu, juga ditampilkan teknologi DVB (Digital Video Broadcasting) yang fokus pada penyediaan layanan DVB di ponsel (baca mengenai DMB dan TV di ponsel dalam eBizzAsia, Edisi No.26, Mei 2005).

Salah satu aplikasi yang menarik, yang berbasis IP dalam broadcasting adalah IPTV, yakni siaran TV yang memanfaatkan konektivitas broadband. Pelanggannya, tahun 2004 lalu baru mencapai 500.000, namun tahun 2009 oleh IDC diproyeksikan akan mencapai 20 juta. Pertumbuhannya ekitar 19 persen, utamanya para pengguna rumah. Hong-Kong, Australia, Korea dan Singapura, serta Jepang merupakan negara yang pertumbuhan pelanggan IPTV-nya cukup tinggi.

Di sisi lain, kemunculan mobile broadcasting dianggap telah mempercepat konvergensi antara telekomunikasi tradisional, penyiaran satelit dan teknologi informasi. Karenanya, meningkatnya ketersediaan layanan 3G, yang merupakan konektivitas kecepatan tinggi, dipadukan dengan berbagai aplikasi dan layanan bergerak, semakin mendorong penyediaan media yang kaya, yang mengonvergensikan baik suara, data maupun video.

Ke depan, tren besar industri telekomunikasi akan mengarah pada terjadinya evolusi dari jaringan tradisional (circuit-switched) ke jaringan NGN (Next generation Network), yang menjanjikan suatu pendapatan yang tinggi dan didukung teknologi canggih, seperti IPv6, 3G dan WiMAX. Sementara, biaya modal dan operasionalnya dapat lebih dihemat. Sedang konten dan layanan yang dapat disediakannya pun akan semakin beragam, aksesnya sangat cepat dan bersifat multimedia.

e-Procurement

  • Posted: Tuesday, November 08, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

e-Procurement merupakan suatu cara pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik. Cara ini, memang merupakan cara baru dalam urusan pengadaan barang dan didukung jaringan dan sistem elektronik. Cara ini semakin banyak dilakukan, terutama oleh perusahaan-perusahaan atau lembaga pemerintahan yang telah menerapkan teknologi informasi (TI).

Selain sebagai cara untuk mengefisienkan proses pengadaan, e-procurement juga dinilai sebagai salah satu cara yang efektif untuk memangkas kerumitan dalam proses pengadaan barang secara konvensional dan sekaligus memangkas biaya. Dalam konteks cara konvensional, biaya yang muncul dalam proses pengadaan, tak jarang, bukan merupakan biaya langsung sebagai konsekuensi penyelenggaran proses pengadaan, melainkan ”biaya” tidak langsung, yang seringkali bahkan jauh lebih besar dari biaya yang sesungguhnya.

Biaya ini memiliki banyak nama dan umum diketahui. Terkadang disebut biaya bawah tangan, biaya siluman dan lain sebagainya. Namun, yang pasti, proses pengadaan menjadi bias, dan tak jarang tidak lagi sesuai dengan yang diharapkan akibat adanya pengaruh yang besar dari biaya-biaya itu. Proses pengadaan bukan lagi sebagai cara efisien dan hemat biaya dalam pengadaan barang, melainkan telah menjadi proses untuk memperoleh uang dengan berbagai cara dan mempengaruhi proses pengadaan itu sendiri.

Karenanya, ketika pemerintah bertekad akan menggunakan e-procurement dalam proses pengadaan berbagai keperluan pemerintah, maka hal itu selayaknya disambut positif. Selain itu merupakan tekad yang baik dari pemerintah, e-procurement memang telah banyak diterapkan di berbagai negara, seperti Singapura dan Malaysia. Karenanya, kalau Indonesia menerapkannya, itu merupakan suatu langkah maju. Untuk tahap awal, rencananya e-procurement akan diterapkan di semua instansi di Pulau Jawa dalam dua tahun mendatang, sementara penerapannya di seluruh Indonesia baru akan terwujud pada 2010.

Tahun ini, Bappenas bahkan sudah merencanakan untuk melaksanakan beberapa tahapan penerapan e-procurement di pemerintahan secara menyeluruh melalui proyek percontohan di lima departemen, yaitu Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Depkominfo, dan Menko Perekonomian. Meski, sebenarnya, sejumlah departemen lain telah mulai menerapkannya, antara lain Departemen Kesehatan, Depdiknas, Departemen Perhubungan, Pemkot Surabaya, dan salah satu pemda di Bali.

Meski berbeda dengan cara-cara konvensional, namun e-procurement bukanlah suatu sistem yang sama sekali baru dan tak mungkin diintervensi oleh manusia. Sebagai suatu sistem, e-procurement memang menggunakan jaringan elektronik, namun esensi proses pengadaannya boleh dikata relatif sama. Hanya saja, dengan e-procurement memang ada bagian-bagian dari proses yang berbeda dan sama sekali tidak bisa diintervensi oleh manusia.

Karenanya, yang sangat diperlukan adalah adanya transparansi yang didukung oleh suatu mekanisme dan tata aturan serta kriteria yang jelas, sehingga proses pengadaan melalui e-procurement dapat dijalankan secara optimal. Yang lebih penting adalah bagaimana semua aturan dan kriteria yang ditetapkan sejak awal itu benar-benar dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar, sebelum proses penawaran secara elektronik dilakukan. Belajar dari pengalaman yang dilakukan oleh negara-negara lain, yang lebih luas penerapannya, bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.

Di sisi lain, inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah ini, jika dapat dilaksanakan dengan baik, akan merupakan langkah awal yang positif untuk mengefisienkan semua proses pengadaan berbagai keperluan pemerintah dan lembaga negara, termasuk BUMN, dan sekaligus melakukan penghematan, serta menghindari kemungkinan terjadinya tidak korupsi dan berbagai penyimpangan lainnya.

Kalau saja pemerintah dapat secara konsisten dan sungguh-sungguh berkomitmen dalam menerapkan e-procurment ini, maka kita mungkin boleh berharap akan berjalannya suatu pemerintahan yang bersih, transparan dan sehat. Meskipun, ini baru merupakan salah satu upaya strategis dari berbagai upaya lain yang diperlukan untuk itu.

Nilai dan Manfaat

  • Posted: Sunday, November 06, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Jakarta areal view - in the evening 2005

Disadari atau tidak, dianggap atau tidak, dipedulikan atau tidak, bangsa-bangsa di sekitar kawasan ini, katakanlah ASEAN saja, telah berkembang lebih maju dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Kebangkitan Malaysia misalnya, telah melambungkan bangsa melayu itu ke posisi yang jauh lebih tinggi dalam pergaulan dunia. Apalagi, Singapura yang dikenal sebagai “financial and business hub” di Asia Tenggara, jelas jauh lebih maju, baik birokasi maupun pencapaian yang diraihnya hingga saat ini.

Vietnam, yang selama bertahun-tahun pecah-belah karena peperangan yang panjang, dalam beberapa segi dikabarkan juga lebih maju dari Indonesia. Begitu juga, Thailand dan Filipina.

Namun, kalau hal ini diungkapkan maka pertanyaan yang selalu muncul adalah suatu bentuk pembelaan diri, yang terkadang justru berlebihan. “Dari aspek apa suatu negara itu dipandang lebih maju dari Indonesia, apaka ukurannya dan apa saja kelebihannya? Bukankah Indonesia lebih luas areanya, lebih banyak jumlah penduduknya dan lebih kaya sumberdaya alamnya? Apakah itu tidak menunjukkan bahwa bangsa Indonesia lebih besar, lebih kaya dan segala macam lebih lainnya. Sampai, pada satu titik, Indonesia lebih parah korupsinya di bandingkan negara-negara lain di Asia.

Sikap defensif semacam itulah yang tampaknya terus menerus ingin kita tunjukkan. Sikap pembelaan yang terkadang berlebihan itu, pada saat yang sama tidak juga ditunjukkan oleh perilaku yang lebih baik, baik di kalangan birokrasi maupun masyarakat luas. Korupsi masih terjadi di mana-mana, berbagai pelanggaran dan kontradiksi antara ucapan dan perilaku masih terus terjadi. Namun, di sisi lain, kita juga tak mau dikritik, apalagi kalau dituding.

Dalam konteks penerapan ICT, misalnya, Indonesia boleh dibilang belum memberikan dampak yang luas dan mendorong munculnya berbagai bisnis dan pendapatan baru yang lebih menarik minat para pelaku bisnis. Padahal, banyak negara yang telah menunjukkan tingkat kemajuan yang berarti dalam memanfaatkan ICT bagi berkembangnya industri peranti lunak, perangkat keras, penyelenggaraan negara (birokrasi) dan dunia pendidikan.

Pernah suatu kali, dalam wawancara khususnya dengan eBizzAsia, Jos Luhukay, Pengamat dan Praktisi Ekonomi Baru, mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia sesungghnya mewarisi suatu sejarah, dimana pemerintah praktis tidak mengambil posisi dalam teknologi informasi (ICT), sampai sekarang ini. “Kalaupun ada KOMINFO, ya akhirnya tidak jelas dalam teknologi informasinya. Pada akhirnya, kita tidak bisa memusatkan satu upaya dengan resource yang pas-pasan ini, sesuatu yang akan memajukan kita. Itu, nggak ada. Jadi, teknologi yang satu ini memang tidak dianggap sesuatu yang dapat memberdayakan bangsa,” ungkap Jos.

Sementara, Vietnam, dengan perkirakan pertumbuhan 7% per tahun, pada 2005 ini industri ICT domestiknya akan meraih pendapatan US$ 850 juta dan pada 2010 diperkirakan meningkat mencapai US$ 1.9 miliar, atau sebesar 3% dari total GDP sebesar US$ 60 miliar.

Sedang Filipina akan segera menerapkan apa yang disebut inisiatif The Philippine Cyberservices Corrridor (PCC) yang hampir sama dengan Multimedia Super Corridor (MSC) yang dibangun Malaysia. Selain itu, Filipina juga mengembangkan program ICT untuk UKM dan proyek database ICT. Inisiatif ini disebut ”One Million for ICT” yang merupakan proyek pendaftaran dan pemetaan profesional ICT yang diperkirakan akan selesai sebelum 2010. Dengan pemetaan tersebut, Filipina akan mengetahui secara cermat kapabilitas nasional dalam bidang ICT, baik jumlah profesional ICT-nya maupun keahlian dan ketrampilan yang dikuasainya.

Malaysia
Malaysia, yang dalam era pemerintahan Dr Mahathir Mohammad berhasil merumuskan apa yang mereka sebut “Vision 2020”, mungkin menarik untuk dijadikan contoh, meski belum tentu menjadi contoh yang ideal. Namun, apa yang dikembangkan Malaysia menampilkan suatu pola pikir yang jelas dan secara konsisten diterapkan didukung suatu mekanisme pelaksanaan yang kondusif dan kompetitif.

Berdasarkan Vision 2020 itu, Malaysia membangun suatu proyek prestisius, yang disebut Multimedia Super Corridor (MSC), yang dibangun pada 1997. Menempati lahan seluas 15x50 kilometer persegi, yang membentang antara Kuala Lumpur City Centre Towers (KLCC) dan Kuala Lumpur International Airport (KLIA), MSC dimaksudkan sebagai tempat terjadinya interaksi antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi pendidikan (SDM), sehingga membentuk suatu kawasan unggulan ICT.

Berdasarkan Vision 2020 itu pula, Malaysia kemudian membangun National Information Technology Agenda (NITA), yang berperan mendukung pengembangan suatu masyarakat dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Untuk mendukung arah pemberdayaan pengetahuan tersebut dibangun National Information Technology Council (NITC), yang berperan penting sebagai lembaga konsultasi atau penasihat bagi pemerintah dalam pemanfaatan ICT untuk kepentingan pembangunan nasional.

Sementara, MSC sendiri sepenuhnya dikelola oleh suatu institusi non-departemen, yakni Multimedia Development Corporation Sdn. Bhd. (MDC), yang terbukti memberi banyak kemudahan dan insentif bagi berkembangnya investasi kelas dunia dari berbagai industri berbasis TI.

Dewasa ini, lebih dari 2,700 perusahaan ICT telah memilih Malaysia sebagai tempat investasi mereka, baik industri perangkat keras, pengembang peranti lunak, komputer, konsultasi ICT dan lainnya. Sedang MSC sendiri per 13 Januari 2004, telah berhasil menarik minat 976 perusahaan berstatus MSC - 934 perusahaan teknologi ICT, 33 lembaga pendidikan tinggi ICT, dan 9 perusahaan inkubator bisnis.

Kalau tahun 2002 jumlah lapangan kerjanya mencapai 17,000 orang, akhir 2003 mencapai 21,270 orang, dan 2004 mencapai 22,398 orang. Sekitar 86% diisi oleh tenaga kerja berbasis pengetahuan (knowledge worker), dimana sebagian besar pekerja TI merupakan tenaga pengembang/pemrogram peranti lunak - 26% bergelar Doktor, 24% Master, 6% Sarjana, 10% Diploma dan 49% non-gelar.

Yang lebih menarik, lebih dari 15,337 pekerja TI yang bekerja di lingkungan MSC atau 82,2% dari total pekerja merupakan warga Malaysia. Dari 2,746 pekerja TI asing, 54,9 % berasal dari India dan selebihnya dari Inggris. Nilai penjualan yang dihasilkan mencapai total RM 3,93 miliar atau USD 1,04 miliar (2002). Tahun 2004 meningkat mencapai RM 7,98 miliar atau USD 2,1 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2003 yang sebesar RM 5,86 miliar atau USD 1,39 miliar. Selain itu, pada 2003, tak kurang dari 276 kekayaan intelektual, berupa paten, desain industri dan merek dagang telah terdaftar.

Saat ini, MSC telah memasuki tahap kedua pengembangannya (2004-2010), yang akan fokus dalam upaya menjadikan, baik produk maupun jasa ICT dalam negeri, menjadi ekspor andalan Malaysia di masa datang. Hal itu dilakukan bersamaan dengan diluncurkannya tujuh aplikasi unggulan, yakni: Electronic Government, Multipurpose Card, Smart School, Telehealth, R&D Clusters, e-Business, dan Technopreneur Development.

Mau Kemana?
Dari berbagai perbincangan yang penulis lakukan, sebagian besar profesional, baik yang terkait langsung dengan aspek pengembangan ICT maupun tidak, muncul ketidaksabaran untuk melihat bagaimana bangsa ini tidak mengambil posisi untuk mengoptimalkan ICT bagi banyak aspek perkembangan, utamanya birokrasi pemerintahan dan industri nasional pada umumnya.

Di sisi lain, apa yang dibangun Malaysia dengan MSC-nya, terbukti tak hanya terkait dengan industri ICT saja, melainkan seluruh industri terdorong untuk memanfaatkan ICT dalam upaya mencapai tujuannya, terutama bisnis. Sementara, pemerintah sendiri mengambil langkah yang jelas untuk mendorong kemajuan industri nasional dan pengembangan birokrasi nasional dalam menjadikan Malaysia negara yang kompetitif, baik dari segi kapabilitas nasional maupun sebagai tujuan investasi.

Inisiatif-inisiatif besar semacam itu yang justru tak terlihat di Indonesia. Sementara, industri berjalan sendiri dengan arahnya masing-masing dan dengan sumberdaya yang terbatas itu, Indonesia tak mampu mengoptimalkannya menjadi potensi yang besar. Bukan saja ICT sebagai potensi industri yang menjadi tren besar dunia, melainkan juga sebagai enabler pencapaian tujuan-tujuan nasional yang lebih besar melalui pencapaian di berbagai bidang, seperti pendidikan, jasa, kesehatan, perdagangan dan sebagainya.

Di satu perbincangan, seorang teman sempat mengungkapkan, seandainya saja Kementrian Kominfo dan BUMN mau benar-benar fokus untuk mendorong penerapan ICT di BUMN, katakanlah e-Procurement, misalnya, maka hal itu akan berdampak sangat luas. Bukan hanya diterapkan, tetapi benar-benar di”tegakkan” makna penerapannya, maka ia akan berdampak pada transparansi dan terwujudnya “Good Corporate Governance” dalam berbagai aspek pengelolaan BUMN. Jika hal itu bisa terwujud dalam lima tahun ke depan ini, mungkin kita bisa berharap ada gerak maju yang positif, khususnya di salah satu aspek.

Dan, ICT berpotensi mendorong banyak aspek, kalau tak mau disebut semua aspek, untuk menjadi lebih transparan, efisien, efektif dan produktif. Selain juga, tentunya, mendorong demokrasi dalam segenap aspek, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Semoga, bangsa ini mampu mengambil manfaat optimal.

The New Pendulum

  • Posted: Thursday, October 20, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column


China memang boleh dikata sangat fenomenal.

Negeri tirai bambu yang berpopulasi lebih dari 1,3 miliar orang ini, mampu mengatasi banyak hal yang sebelumnya dianggap sangat sulit untuk diangkat. Jumlah populasi penduduk yang tertinggi di dunia, pada saat yang sama bisa berada pada posisi sebagai beban dan sekaligus pasar yang sangat potensial. Dan, inilah yang kini ingin dibuktikan oleh China.

Sejak munculnya kebijakan pintu terbuka dan reformasi, China setidaknya telah mengalami 18 tahun masa pembangunan ekonomi dengan tingkat kecepatan yang tinggi, yang membuatnya menjadi salah satu negara paling dinamis dan dengan pasar terbesar yang tengah bangkit bak seekor ”Naga” di dunia, saat ini. Kekuatan China, tak lagi semata-mata mengandalkan pola-pola lama, yang sebelumnya banyak orang selalu melihatnya sebagai bagian dari lingkungan konvensional, terutama karena terkait dengan paradigma komunisme yang kental, yang sangat berbeda jika dilihat dari pola pembangunan di banyak negara maju di Eropa dan Amerika.

Namun, China yang kita lihat hari ini adalah China yang sangat moderen, yang telah membangun suatu sistem berbasis teknologi yang maju, yang didukung oleh teknologi informasi, bioteknologi, teknologi otomasi, bahan-bahan baru, teknologi energi dan aerospace, yang juga didukung oleh kelompok-kelompok saintis yang sudah mapan. Keberadaan semua itu, yang justru merambah jalan bagi China dalam visi pembangunan suatu masyarakat moderen, yang didukung teknologi tinggi maju yang mendorong posisinya ke atas di abad ke 21 ini.

China, kini bukan suatu kekuatan politik yang didukung komunisme dalam persepsi masa lalu, tetapi China masa kini, mungkin tak terlalu berlebihan, kalau disebut telah menjelma menjadi suatu negara dengan kekuatan ekonomi, sumberdaya manusia dan industri maju, serta pasar yang sangat besar di dunia. Begitu besarnya, sehingga belum tentu tertandingi oleh menyatunya beberapa ekonomi negara-negara maju lainnya di dunia.

Satu hal yang menarik, roda perkembangan teknologinya didukung oleh dua pilar pertahanan yang kokoh, yakni kemajuan teknologi dan perkembangan pasar yang semakin meluas. Perkembangan pasar ditopang oleh pilar enterprise dan pasar, dimana enterprise memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pasar, sehingga teknologi yang mendukung perkembangan China sangat terkait dengan pasar. Sedang pilar yang mendukung pertahanan teknologi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi baru.

Karenanya, ketika pengetahuan menjadi sumber dan basis teknologi, maka kapasitas pemrosesan pengetahun, pengembangan pengetahuan dan penerapan pengetahuan akan semakin mendorong kecepatan pembangunan ekonomi dan teknologi, sebagaimana yang dialami China dalam beberapa tahun belakangan ini. Semakin jelaslah bahwa pembangunan China didukung secara tegar oleh teknologi dan pasar, dan keduanya membangun sinergi, bukan satu pilihan di antaranya. Dengan begitu, jika salah satunya lemah, maka ia akan berpengaruh terhadap kecepatan roda pembangunan teknologinya.

Pemerintah China sangat menyadari penting dan strategisnya peran yang bisa dibawa oleh Teknologi Informasi (TI) bagi kemajuan China ke depan. Kepercayaan mereka dengan nilai siklus ”Yin & Yang” membuat mereka juga mengambil posisi untuk menyeimbangkan berbagai aspek perkembangan yang mereka harapkan, termasuk dalam pembangunan ”roda” teknologi. Roda penggerak pembangunan teknologi dipisah menjadi dua, yakni bagaimana ”penggerak atau driver” dan ”penahan atau restriction” dapat dibentuk berdasarkan suatu kondisi tertentu, tetapi secara bersamaan.

Jadi, antara ”yang boleh” dan ”yang tidak boleh” dianut secara seimbang, dimana dari keduanya mungkin muncul kesalahan yang kemudian dibuatkan suatu keseimbangan baru, tetapi dinamis. Karena, secara nyata juga terlihat bahwa tradisi China memiliki pengaruh ganda dalam pembangunan modernisasi nasional dan promosi alih teknologi.

Dalam pembangunan dan pengembangan teknologi informasi, China membangunnya dengan dukungan empat pilar utama, yang diharapkan akan memutar ”roda” pembangunan teknologi, yang didukung oleh:

  1. Teknologi Baru, yang diterapkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur informasi, sistem informasi dalam bahasa China, aplikasi, telekomunikasi baru (broadband, nirkabel, seluler, dll.), Internet, dan lain sebagainya.
  2. Enterprise, yang ditekankan pada pembangunan kewirausahaan (enterpreneur), pembangunan ekonomi, usaha patungan (joint ventures), investasi, HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), misalnya merek, paten dan lain sebagainya.
  3. Ilmu Pengetahuan, yang diarahkan pada pengembangan perilaku ke arah kesiapan berbagi (sharing), mematuhi tata aturan dan hukum, nilai-nilai, ideologi, kebutuhan yang diharapkan oleh klien, dan lain sebagainya.
  4. Pasar, yang ditujukan pada pengembangan klien, antar muka yang sederhana, komputer, komunikasi, integrasi televisi, Internet, multimedia interaktif, teknologi pemrosesan grafis dan bahasa, dan lain sebagainya.

Keempatnya membentuk, masing-masingnya, empat pilar yang kokoh yang tampaknya akan sangat mempengaruhi pembangunan TI China dalam 5 sampai 10 tahun yang akan datang. Dan, itu bukan tanpa masalah. Tapi, arahnya sangat sangat jelas!

Saat ini, industri TI merupakan segmen ekonomi utama China dengan output nilai tambah mencapai US$76 miliar tahun 2003, terutama karena besarnya dukungan pemerintah China terhadap perkembangan industri TI nasional. Ini dibuktikan bahwa pada tahap pembangunan lima tahunan kesepuluh (2001-2005), China berhasil membangun tiga high-tech “belts” yang baru, yakni di delta sungai Zhujiang di China Selatan, delta sungai Yangtze di propinsi Jiangsu, dan di sekitar Beijing guna meningkatkan produksi barang-barang elektroniknya. Hingga tahun 2005, pemerintah China berharap bahwa industrinya akan membukukan pertumbuhan lebih dari 7 persen dari GDP, dimana telekomunikasi menyumbang setidaknya 4,7 persen dan, dari jumlah itu, produk-produk elektronik bertahan di 2,5 persen.

Pasar TI China, berkembang sangat cepat dan, saat ini, boleh dikata menempati urutan kedua di Asia Pasifik, setelah Jepang. Menurut International Data Corporation (IDC), pasar China, khususnya untuk produk dan jasa TI tahun 2002 lalu mencapai US$22 miliar dan tahun 2006 mendatang diharapkan akan mencapai US$40,2 miliar. Komposisinya di tahun 2002, adalah 73 persen pasar perangkat keras, 10 persen piranti lunak paket dan 17 persen jasa-jasa TI.

Di sisi lain, pemerintah China juga mendorong penggunaan TI, misalnya di sekolah-sekolah, lembaga-lembaga publik, dan kalangan bisnis, sehingga hal itu juga, pada ujungnya, semakin mendorong peningkatan belanja di sektor perangkat komputer dan kebutuhan masyarakat.

Sebagaimana dilaporkan McKinsey, selama beberapa tahun belakangan ini, industri TI Cina mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Jumlah lulusan teknik dan profesional aplikasi-software Cina, juga semakin meningkat, dimana jumlah tenaga kerja yang mampu berbahasa Inggris – yang sangat penting untuk menggarap outsourcing TI – bertambah dua kali lipat sejak tahun 2000, menjadi sekitar 24 juta orang di tahun 2004.

Sedang, pasar piranti lunak berkembang cukup pesat, dimana tahun 2006 mendatang diharapkan nilai pasarnya mencapai US$5 miliar, palagi tahun 2008 mendatang China akan menggelar Olympic Games. Sedang di pasar jasa TI, nilainya mencapai US$4,7 miliar pada 2003 dimana dalam empat tahun ke depan, 2007, diperkirakan mencapai US$11,7 miliar.

Pada saat yang sama, jumlah pengguna Internet China, yang tahun 1995 lalu hanya 15.000 orang, tahun 2003 telah mencapai 59 juta, dan September 2004 meningkat menjadi 87 juta orang pengguna. Sementara itu, jumlah pengguna telepon seluler sekitar 300 juta, dimana 282 juta di antaranya merupakan pengguna seluler GSM. Strategy Analytics, salah satu perusahaan riset pasar ternama, memperkirakan bahwa para pengguna koneksi broadband pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 37 juta, dan harga akses yang murah akan menjadi kunci berkembangnya jumlah pengguna Internet di negeri panda ini.

Lebih dari itu, hingga Januari 2005, China telah memiliki situs web yang terdaftar resmi sebanyak 1.852.300, meningkat 56 persen dibandingkan tahun lalu. Dari semua nama domain yang didaftarkan, 71,6 persen di antaranya berupa domain berakhiran .net.cn, sedang .net sekitar 12,5 persen. Sementara, secara geografis, tiga teratas yang mendaftarkan nama domain berada di kawasan Guangdong 16,3 persen, Beijing 12,9 persen dan Fujian 11,2 persen.

Sejak era keterbukaan dan reformasi, rata-rata peningkatan pendapatan tahunan dalam GDP sebesar 9,9 persen (dari 1978 sampai 1995). Reformasi ekonomi telah melahirkan sangat banyak entrepreneur, utamanya yang berbasis teknologi dan sains. Hingga tahun 1995, tak kurang dari 97,000 perusahaan-perusahaan teknologi swasta tercipta, dimana 70 persen di antaranya bergerak di bidang teknologi tinggi di seluruh wilayah China.

Dalam konteks ini, peran investasi asing sangat menentukan bagi pembangunan ekonomi skala besar yang terjadi di China. Hari ini, bahkan China telah menjadi salah satu ekonomi yang sangat kokoh di dunia. Kalau hingga tahun 1996 ada sekitar 280.000 investasi asing dengan nilai mencapai US$ 170 miliar, maka hingga akhir Februari 2005 ada lebih dari 510,000 perusahaan investasi asing dengan total nilai investasi mencapai US$ 1,1 triliun. Dan, lebih dari 200 perusahaan 'Fortune 500' memiliki investasi di China.

Namun, belakangan ini muncul suatu kesadaran baru ke depan, bahwa China tak hanya bagus dalam angka-angka sebagaimana ditampilkan dalam kolom ini, melainkan sangat potensial untuk menggantikan dominasi dunia, yang selama ini dipegang oleh sejumlah kecil negara-negara kaya, katakanlah yang tergabung dalam G7.

Jumlah penduduk China yang sangat besar, pada saat ini, terbukti tak semata-mata beban bagi pemerintah, melainkan menjadi potensi kekuatan dan pasar yang sangat besar. Berbagai keunggulan terus dibangun, mulai dari peningkatan jumlah SDM yang berbasis pengetahuan (knowledge-based human resource), hingga munculnya puluhan ribu perusahaan-perusahaan moderen yang berbasis teknologi informasi, baik investasi lokal, regional maupun mancanegara.

China, tampaknya, akan terus berkembang dengan pesat dan dalam skala yang sangat besar, meski juga menghadapi tantangan yang juga sangat besar. China, yang sekarang, memang akan menjadi pendorong berubahnya peta kekuatan eknomi dan industri dunia, yang didukung oleh penerapan teknologi informasi, pengembangan sumberdaya manusia, dan nilai pasar yang sangat besar dan kompetitif.

Di Indonesia pun pengaruhnya pun mulai terasa semakin kuat dan memihak. Semakin banyak saja perusahaan-perusahaan Indonesia yang mulai memindahkan kegiatan operasionalnya, atau manufakturnya, ke China, baik dengan alasan untuk menangkap pasar China, maupun untuk mengisi pasar dalam negeri, karena terbukti biaya produksinya relatif murah, sehingga lebih kompetitif.

Di sisi lain, tampaknya semakin banyak juga kalangan berpunya di negeri ini, terutama dari kalangan bisnis, yang mulai memindahkan kiblat pendidikan anak-anak mereka tidak lagi ke negara-negara Eropa dan Amerika, apalagi kalau berbicara bisnis ke depan. Ke China, kini bukan lagi untuk belajar ramuan obat-obatan tradisional China, yang sekarang ini justru semakin mendapatkan jastifikasi lebih tinggi, karena didukung riset yang lebih dalam dari para pakar China sendiri, melainkan belajar bisnis dan membangun relasi, yang secara faktual, akan menjadi tren di masa depan.

Sejumlah kalangan memperkirakan, bahwa dalam bilangan beberapa tahun ke depan, arah pergerakannya akan benar-benar mengambil posisi, bukan saja sebagai pengimbang, melainkan pengganti, dari kecenderungan yang terjadi selama ini. Lihat saja, saat ini, tak kurang dari 86.000 mahasiswa asing dari lebih 170-an negara di dunia, yang belajar di sejumlah universitas di China. Jumlah itu diperkirakan akan terus meningkat hingga 120.000 pada 2008. Padahal, 20 tahun yang lalu, hanya sekitar 8.000 mahasiswa asing saja yang belajar di seluruh daratan China.

Dari jumlah itu, tak kurang dari 60.000 mahasiswa yang belajar di China berasal dari kawasan Asia, antara lain Korea Selatan (35.000), Jepang (16.000) dan sisanya dari sejumlah negara asing lainnya, termasuk Indonesia. Sedang dari Amerika (7.000) dan Eropa (6.000). Di Beijing sendiri kini, ada lebih dari 5.000 perusahaan, 60 di antaranya perusahaan besar Amerika, 73 universitas, 232 lembaga riset bidang sains. Selain Beijing, tampaknya yang akan menjadi tujuan mahasiswa asing adalah Shanghai dan Tianjin.

Sementara di seluruh China, kini ada lebih dari 2000-an universitas mulai dari pendidikan setingkat Sarjana, Master maupun Doktor, dimana 300 di antaranya memiliki mahasiswa asing. Dalam beberapa tahun ke depan, diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat cepat, karena trennya memang akan bergerak ke sana.

China, memang fenomenal, dan angka-angka yang ditampilkan di sini setidaknya merpresentasikan dinamika besar yang kini tengah terjadi di negeri dengan luas sekitar 9,6 juta kilometer persegi dan 666 kota ini, yang nantinya akan menjadi kekuatan utama dunia, terutama dalam dunia industri dan ekonomi. Dan, China is now becoming the new pendulum of the world.

Outsourcing

  • Posted: Saturday, October 15, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Sebelumnya, memberikan kepada perusahaan lain pekerjaan yang seharusnya dikerjakan sendiri, terlebih-lebih bila itu inti bisnis yang di jalankan, bukan saja tabu tapi riskan. Kalaupun harus diberikan ke pihak lain, hal itu akan diikuti dengan sederet persyaratan yang terkadang sangat rumit. Itu pun masih dibayang-bayangi dengan rasa “was-was” dan “ragu”, apakah tidak akan dibohongi.

Namun, sekitar awal 1990an, ketika komputer dan teknologi informasi mulai banyak digunakan di perusahaan-perusahaan, khususnya dengan dibentuknya departemen TI tersendiri, memberi pekerjaan ke pihak lain, yang istilah kerennya outsourcing, semakin banyak dilakukan. Masalahnya tidak hanya karena ketidakmampuan melakukannya dengan baik, tetapi masih banyak alasan lain yang tidak memungkinkan melakukannya. “Kita tidak menguasai bisnis TI,” ujar para eksekutif beralasan, “karenanya lebih baik kita outsource saja ke pihak lain yang dapat melakukannya lebih baik”. Bukankah dengan begitu kita dapat lebih berkonsentrasi ke inti bisnis yang kita lakukan?

Outsourcing seperti mendapatkan momentum baru seiring dengan penggunaan teknologi informasi, yang banyak digandrungi para eksekutif. Internet, dan platform komunikasi yang dibangunnya di perusahaan-perusahaan, telah memungkinkan terjadinya aliansi, bukan alinasi, dan hubungan yang mulai semakin banyak dirasakan kalangan perusahaan. Aliansi boleh dibilang menjadi kata lain dari outsourcing ini. Misalnya saja, peritel Internet Amazon.com Inc. (www.amazon.com) dan peritel elektronik Circuit City Stores Inc. (www.circuitcity.com) bekerjasama sebelum masa liburan datang. Hal itu memungkinkan pelanggan Amazon masuk ke Amazon, membeli kamera digital, dan mengambil barangnya di Circuit City terdekat. Jika kamera tersebut rusak karena jatuh dan tak dapat digunakan lagi, penggantinya tersedia dan dapat diambil di Circuit City. Dalam hal ini, Amazon mengoutsource layanan pelanggannya ke Circuit City.

Pola yang ditunjukkan oleh kerjasama antara Amazon dan Circuit City ini menunjukkan bahwa outsourcing dilihat dari sudut yang berbeda. Outsourcing tidak hanya dilakukan karena kita tidak dapat melakukannya saja, melainkan berubah menjadi suatu aliansi strategis karena dimilikinya keunggulan-keunggulan tersendiri, yang jika disatukan akan membentuk suatu kekuatan baru yang lebih powerful. Sekarang, bahkan proses bisnis yang bersifat lintas departemen, seperti logistik, manufaktur bahkan riset, sekalipun telah banyak dioutsource ke perusahaan lain. Hasil riset Gartner Group menunjukkan bahwa outsource proses bisnis dunia bertumbuh sebesar 23% setahun dan nilainya mencapai $300 miliar pada 2004.

Bagaimana dengan batasannya? Apakah semuanya bisa dioutsource? Beberapa perusahaan melihatnya hampir tak ada batasnya. Bayer AG, perusahaan farmasi raksasa Jerman, bahkan telah mengoutsource hampir 30% area kegiatan yang dapat menghancurkan perusahaan: riset dan pengembangan jangka panjang. Di lingkungan industri farmasi, sekitar 20% pengembangan obat-obatan sekarang ini telah dioutsource, dan perusahaan riset Frost & Sullivan memperkirakan bahwa hingga 2004 sekitar 42% dari semua pembiayan pengembangan obat-obatan farmasi ($38.4 miliar) akan dikeluarkan untuk biaya outsourcing mitra bisnis.

Namun, perusahaan masih saja dapat melakukan kesalahan jika mereka hanya melihat kemampuan perusahaan sebagai suatu entitas tersendiri dan tidak mempertimbangkan seberapa besar pengaruhnya terhadap bidang-bidang lainnya. Mungkin hasilnya berupa peningkatan efisiensi, namun efisiensi tidak berada di dunia vakum, ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bidang lainnya.

Yang juga tak kalah serunya dan perlu mendapat perhatian adalah “scope” pekerjaan dan fleksibilitas dalam melakukannya. Karena, perubahan waktu terkadang membutuhkan perubahan atau penyesuaian, yang bukan tidak mungkin justru akan semakin membuatnya optimal.

Paradigma Baru

  • Posted: Sunday, October 09, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Sadar atau tidak, saat ini kita tengah menghadapi berbagai tantangan perubahan yang sangat besar. Baik, terhadap kehidupan pribadi dan keluarga dalam interaksinya dengan masyarakat di sekitar maupun terhadap organisasi dan karyawan dalam konteks persaingan bisnis.

Perubahan-perubahan itu dipicu oleh sejumlah “kekuatan penggerak” dalam berbagai arah dan dimensi. Sebut saja, perkembangan teknologi telekomunikasi telah “mengecilkan” dunia, seolah tak lagi berjarak. Komunikasi, kini, dapat dilakukan dengan berbagai perangkat, baik tetap (fixed devices) maupun bergerak (mobile devices), dari mana dan kapan saja. Bahkan, sambil tiduran pun kita dapat berhubungan dengan teman, saudara atau siapa saja yang berada di nun jauh di mancanegara.

Peningkatan keragaman pekerja juga telah membawa berbagai rangkaian nilai yang berbeda, perspektif dan harapan di antara mereka. Para manajer pun semakin dituntut untuk menyadari perubahan-perubahan itu dan, lebih jauh, bagaimana dia mengelolanya secara efektif.

Begitu juga, kesadaran terhadap lingkungan sosial semakin tinggi sensitivitas dan tuntutannya terhadap organisasi, yang mendorongnya untuk semakin responsif terhadap lingkungannya. Dari isu-isu lingkungan, ekonomi dan sosial-politik hingga komunikasi personal.

Lebih jauh dari itu, banyak negara-dunia ketiga telah bergabung dengan global marketplace, yang kemudian semakin membuka peluang bersaing di tingkat global dalam penjualan dan layanan. Karenanya, organisasi tak lagi hanya bertanggungjawab terhadap pemegang saham (stockholder), melainkan juga terhadap komunitas yang lebih besar (stakeholder).

Akibatnya, muncul tuntutan bagi organisasi untuk mengadopsi “paradigma baru”, yakni menjadi lebih sensitif, fleksibel dan dan adaptable terhadap kebutuhan dan harapan stakeholder. Banyak organisasi, dewasa ini, mulai menyadari hal itu, dan kemudian mengambil langkah untuk tidak lagi menerapkan organisasi tradisional yang bersifat top-down, kaku dan strukturnya sangat hirarkis, tetapi lebih berbentuk “organik” dan mencair.

Para manajer masa kini harus terkait dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus dan berjalan sangat cepat. Mereka yang menghadapi pengambilan keputusan-keputusan besar dan penting tak dapatr lagi mengacu kepada perencanaan pengembangan yang telah dilakukan untuk memberi arah. Teknik manajemen harus secara terus-menerus mengingatkan perubahan-perubahan dalam lingkungan dan organisasi, menilai dan sekaligus mengelola perubahan tersebut. Mengelola perubahan tidak berarti mengendalikannya, tetapi lebih memahami, mengadopsi di mana dibutuhkan dan mengarahkannya jika mungkin.

Konsekuensinya, karena para manajer tidak mengetahui semua hal dan memahami semua situasi, maka ia harus lebih terbuka, menghargai dan mau mendengar karyawannya. Tak heran, jika kemudian muncul tipe organisasi baru, yang lebih berorientasi ke karyawan: worker-centered, self-organizing, self-designing teams dan lain sebagainya.

Marilyn Ferguson, dalam bukunya The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change (Michael Ray and Alan Rinzler, Eds, 1993, New Consciousness Reader), membeberkan suatu gambaran yang sangat tepat mengenai perbedaan antara paradigma lama dan baru.

Kalau dahulu orang harus disesuaikan dengan pekerjaannya, sekarang pekerjaan yang harus disesuaikan dengan orangnya. Kalau dahulu bersifat agresi dan kompetisi, sekarang justri kooperasi; berjuang untuk kestabilan menjadi sensitive terhadap perubahan; manipulasi dan dominan menjadi bekerjasama dengan alam; menetapkan tujuan dan pengambilan keputusan atas-bawah menjadi mensdoroing otonomi dan partisipasi karyawan; kuantitatif menjadi kuantitatif sekaligus kualitatif; melihat jangka pendek menjadi secara ekologi sensitif; rasional menjadi rasional dan sensitif; menekan solusi jangka-pendek menjadi mengenali efisiensi jangka panjang sangat terkait dengan lingkungan kerja yang harmonis; semata motif ekonomi menjadi nilai-nilai spiritual akan mendorong keuntungan material; sentraliasi menjadi desentralisasi jika dimungkin dan masih banyak lainnya.

Diferensiasi

  • Posted: Friday, October 07, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Dalam teori pemasaran diferensiasi memiliki arti penting.

Diferensiasi berarti bahwa suatu produk atau jasa memiliki tidak saja keberbedaan dengan produk atau jasa yang sudah ada, melainkan juga merupakan titik keunggulan dibandingkan yang lainnya itu. Tetapi, diferensiasi tidak berarti ‘asal berbeda’, sehingga kalau sudah berbeda berarti pasti memiliki titik keunggulan yang dimaksud.

Berbeda dapat diartikan dalam konteks dan sudut pandang yang berbeda-beda pula. Berbeda dalam artian fisik atau proses dapat dikenali dengan mudah, karena perbedaan itu bisa saja dalam bentuk, tampilan, ukuran, dan fungsi. Tetapi perbedaan dalam konteks ini tidak, pada saat yang sama, akan bermakna sekuat apa yang dimaksud dengan diferensiasi di atas.

Dalam konteks diferensiasi, tanpa perbedaan fisik pun sebenarnya dapat memiliki titik keunggulan, misalnya saja suatu produk yang sama bentuknya, sama tampilannya, tetapi sangat mungkin memiliki perbedaan kualitas. Ketika perbedaan kualitas itu begitu nyata, maka hal itu dapat memunculkan diferensiasi yang jelas, sehingga penerimaan konsumen pun akan mampu membedakannya. Sehingga muncullah sebutan ‘produk yang berkualitas’ dan yang ‘tidak berkualitas’.

Sementara kualitas sendiri dapat difahami secara lebih rinci melalui berbagai metodologi pengukuran yang dilakukan, misalnya TQM (Total Quality Management), JIT (Just in Time), Six Sigma dan lain sebagainya. Tetapi secara prinsipil bahwa kualitas merupakan ‘sesuatu yang diharapkan’ konsumen dari produk atau jasa yang dibelinya. Dan konsumen mau membayar mahal untuk setiap jasa atau produk yang berkualitas ini.

Lebih dari itu, kualitas tidak, pada saat yang sama, pasti setara dengan merek. Kalau merek yang terkenal pasti berkualitas. Tetapi, sebaliknya, suatu jasa atau produk akan diminati oleh konsumen dan menjadi terkenal, salah satunya karena berkualitas.

Ambil contoh sepasang jas, yang satu di jahit oleh penjahit ternama dan bermutu, sedang yang lainnya di jahit di penjahit biasa saja dan belum terkenal. Secara prosedur, menjahit sepasang jas relatif sama. Begitu juga bentuknya pun dapat dibuat sama dan dengan menggunakan jenis kain yang sama, serta benang jahit yang juga sama.

Pertanyaannya, apakah hasil jahitannya akan juga sama? Boleh jadi memang relatif sama. Tetapi, dalam kenyataannya, umumnya berbeda. Sekilas tampilannya mungkin sama, tetapi sesungghunya berbeda. Orang sering menyebutnya ‘berbeda kualitas’. Perbedaan kualitas ini pula yang kemudian dianggap sebagai diferensiasi yang kuat dan dipercaya oleh konsumen.

Kualitas tidak semata-mata merupakan suatu ‘perceive value’ yang diterima oleh konsumen sebagai sesuatu yang baik, bagus. Karena kualitas dapat diukur, dibandingkan dan disadari ‘ada’nya dalam suatu jasa atau produk. Ada juga yang menyebut kualitas lebih terkait dengan ‘taste’. Meski prosedurnya sama, tetapi taste-nya berbeda, maka hal itu akan melahirkan jasa atau produk yang berbeda.

Untuk memiliki diferensiasi memang tidak hanya bertumpu karena adanya perbedaan kualitas. Melainkan, masih banyak aspek lain yang kemudian bisa membuat perbedaan antara satu jasa atau produk dengan jasa atau produk lainnya.

Diferensiasi, di sisi lain, juga dapat dilihat dari segmen pasar yang akan dituju. Semakin nyata diferensiasi yang dimiliki, maka sangat boleh jadi segmen pasar yang dituju akan sangat berbeda atau lebih tajam dibandingkan jasa atau produk lain yang dianggap berbeda itu.

Jenis produk yang sama, tetapi terdiferensiasi oleh fungsionalitas yang beragam dan kualitas yang lebih tinggi, misalnya, tentu akan ditujukan untuk segmen pasar yang berbeda pula. Dalam produk-produk elektronik kita mengenal ada yang diebut ‘low-end’ dan ada yang ‘high-end. Biasanya hal itu muncul dalam bentuk penawaran yang berbeda dan dengan harga jual yang berbeda, yang umumnya lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Karena diyakini ada kualitas di sana.

Dipercayai bahwa diferensiasi dapat menyebabkan konsekuensi tersendiri, baik itu berupa harga, kepercayaan konsumen, peningkatan penjualan, dan loyalitas atau, bahkan, fanatisme konsumen, khususnya para pelanggan. Dieferensiasi juga dapat mendorong perlakuan dan penanganan yang berbeda, yang dianggap sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

Dalam konteks teknologi informasi (TI), diferensiasi dapat juga dilihat dari ‘bagaimana’ kita memberikan solusi atas ‘apa’ masalah sesungguhnya yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang, melalui pemanfaatan TI.

Memberikan solusi dengan cara-cara yang standar dan sesuai dengan prosedur saja, tidak pada saat yang sama melahirkan diferensiasi. Karena, dengan diferensiasi, mestinya jawaban atau solusi yang diberikan mampu lebih jauh memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi secara lebih baik, lebih cepat, lebih tepat sehingga disebut berkualitas.

Konten dan Pelanggan

  • Posted: Tuesday, September 27, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Terlepas dari standar mana yang akan digunakan oleh para operator di Indonesia, layanan 3G tetap akan berhadapan dengan tiga hal penting yang dinilai akan menjadi kunci sukses perkembangannya ke depan, yakni: Konten, Harga dan Pelanggan. Meski, teknologi yang digunakan, memang berdampak pada investasi yang akan dikeluarkan oleh para operator, termasuk izin frekuensi 3G yang harus dibayarnya, namun kedua standar itu (3G WCDMA dan CDMA 200 1xEVDO) pastilah akan sangat mendukung suatu layanan 3G yang bermutu tinggi.

Masalahnya, 3G WCDMA memang didukung oleh para operator GSM yang telah ada sekarang ini, yang memiliki basis pelanggan yang sangat besar, yakni telah menjangkau lebih dari 200 negara dengan lsekitar 1,25 miliar pengguna. Sedang CDMA, yang mengusung CDMA 2000 1xEVDO, memiliki sekitar 202 juta pengguna di seluruh dunia.

WCDMA, yang diperkirakan memiliki kecepatan 2-3Mbps, juga berpotensi untuk mencapai kemampuan transfer data hingga 14,4Mbps jika ditingkatkan ke HSDPA (High Speed Downlink Packet Access). Sedang CDMA tampaknya akan bergerak ke CDMA2000 1xEVDO (2,5Mbps) dan EVDV (3,1Mbps). WCDMA, yang dianggap sebagai evolusi GSM, dimana sebelumnya diantarai oleh layanan GPRS dan EDGE, di Indonesia dianut oleh Telkomsel, Indosat, dan XL. Sedang CDMA 2000, digunakan oleh para penyelenggara jasa layanan telekomunikasi (mobile cellular maupun fixed wireless telephone), yakni Mobile-8, TelkomFlexi, Esia, dan StarOne.

Keberhasilan peneraan 3G, dewasa ini, tampaknya masih mengacu pada keberhasilan operator NTT DoCoMo (FOMA, turunan dari WCDMA) dan KDDI (CDMA2000 1xEVDO) di Jepang. Meski penggelaran infrastruktur operator di kawasan Eropa bisa dikatakan yang paling luas. Namun, jumlah pelanggan 3G Jepang, yang per Juni 2005 telah mencapai lebih dari 31 juta (NTT DoCoMo 12,88 juta, KDDI 18,49 juta), jauh meninggalkan kawasan Eropa yang masih sekitar 6,3 juta.

Di Korea, layanan 3G juga terbilang sangat sukses. Korea Selatan, yang dianggap sebagai negara pertama menerapkan jaringan 3G yang disebut cdma2000 1xRTT (SK Telecom, KT Freetel dan LG Telecom), kini sekitar 30 juta pelanggannya telah menggunakan layanan 3G (termasuk pelanggan 1xRTT). Pertengahan 2002, kecepatan transmisi datanya telah meningkat mencapai rata-rata 500-600 Kbps, utamanya setelah operator menerapkan 1xEV.

Semua keunggulan teknologi, yang terwujud dalam jaringan yang luas dan kualitas layanan, yang dikemas dalam layanan 3G ini masih menyisakan langkah berat para operator untuk menggapai pelanggan. Meski GPRS yang ada saat ini tak bisa dikatakan sama sekali gagal, namun kalau dilihat dari jumlah penggunanya masih relatif sangat sedikit. Sementara EDGE tampaknya masih malu-malu kemunculannya.

Persoalannya, bukan saja harga layanan yang bagi kebanyakan pengguna dinilai cukup mahal, melainkan dukungan konten yang minim mungkin merupakan salah satu faktor kritikal. Bayangkan, ketersediaan akses berkapasitas besar dan ada di mana-mana, namun tanpa konten yang menarik, hal itu tak akan mendorong banyak orang untuk menggunakannya. Jika begitu, layanan 3G juga akan mengalami nasib serupa – tidak sukses.

Ketersediaan konten saja, juga belum mampu menarik para pelanggan, ketika layanannya sendiri tidak dianggap cukup mudah digunakan (user friendly). Kegagalan WAP beberapa tahun yang lalu merupakan bukti bahwa kemudahan akses dan menggunakannya merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pengguna.

Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan pengguna juga tetap menjadi pertimbangan, meski sebagian pengguna mungkin tak memusingkan soal berapa besar biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi, layanan 3G bukan layanan yang bersifat eksklusif untuk mereka yang berpenghasilan tinggi, melainkan juga akan menjangkau pengguna yang lebih luas, termasuk kalangan anak-anak muda. Masalahnya, sesuaikah nilai yang akan mereka terima dengan nilai pengeluaran mereka menggunakan 3G. Bagaimana kalangan operator mampu meyakinkan mereka, sehingga kemudian mereka akan tertarik menjadi pelanggan 3G.

Mungkin tak ada salahnya kalangan operator 3G nasional juga mau belajar dari keberhasilan NTT DoCoMo dan KDDI dalam membangun layanan 3G mereka, dan juga bagaimana i-mode dari DoCoMo menjadi sangat popular – itu lebih karena kekayaan konten (aplikasi) dan harga yang kompetitif. Bahkan, i-mode diperkirakan tak hanya berhasil di Jepang, tapi akan merambah banyak pengguna di seluruh dunia.

Risiko

  • Posted: Monday, September 26, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Dahulu, ketika perusahaan belum menggunakan komputer, mesin tik menjadi handalan, baik untuk membuat penawaran, invoice maupun menyiapkan berbagai laporan, termasuk laporan keuangan misalnya. Karena tak ada yang lebih cepat dan lebih mudah dari itu, maka mesin tik menjadi tumpuan utama, dan tidak sedikitpun ada masalah, misalnya karena laporan yang terlambat karena datanya masih terpisah-pisah di masing-masing bagian, belum direkap.

Para karyawan, khususnya bagian keuangan akan sangat sibuk menjelang akhir bulan untuk menyiapkan berbagai laporan keuangan. Kalau perlu selama satu minggu di setiap akhir bulan itu mereka melakukannya dengan penuh dan, bahkan, sampai harus lembur. Pokoknya, minggu akhir bulan menjadi suatu saat yang “menyebalkan dan sekaligus membosankan”. Belum lagi kalau ada hasil hitungan yang tidak klop, meskipun telah diulang-ulang beberapa kali.

Kini, setelah semakin banyak, kalau tak boleh dibilang semuanya, menggunakan komputer, tuntutan terhadap pekerjaan pun sebenarnya tak juga surut. Meski banyak hal yang semakin dimudahkan, tetapi tak kurang banyak juga yang masalah atau risiko yang dihadapi, yang boleh jadi semakin berat.

Misalnya saja, dulu, kalau berbicara virus, kaitannya dengan penyakit manusia, tetapi sekarang bertambah dengan “penyakit” komputer. Virusnya jelas berbeda, tapi dampaknya bisa jadi lebih parah. Kalau virus manusia mungkin menyerang satu dua orang di kantor, tetapi virus komputer bahkan dapat menyerang semua komputer jaringan di suatu perusahaan dan bahkan di banyak tempat di suatu Negara atau, bahkan, di dunia yang “berjangkit” secara sangat cepat. Ingat kasus serangan virus “I love you” beberapa tahun lalu yang menyerang jutaan komputer di dunia dalam waktu sangat singkat.

Serangan virus, yang seringkali dating bertubi-tubi, itu baru satu masalah yang dihadapi era komputer saat ini. Serangan hacker atau cracker terhadap server jaringan atau situs web merupakan bentuk lain dari masalah yang tidak bisa dianggap enteng.

Di sisi lain, memang benar komputer mampu mempercepat kerja yang dahulu dilakukan dengan mesin tik. Tetapi, kecepatan data dan informasi yang berhasil diproduksi dan dikomunikasikan secara cepat dan dalam jumlah besar, juga dapat menimbulkan masalah yang tak kalah serius. Tak jarang, suatu perusahaan menghadapi masalah sulit karena data yang dihimpunnya ternyata telah menggunung, yang tak mudah untuk menyeleksi sehingga dapat digunakan secara tepat dan akurat.

Sedikit data dan informasi berdampak sulitnya membangun kebijakan perusahaan yang handal, yang berdasar pada akurasi, jumlah dan kecepatan data. Tetapi, sebaliknya, kebanyakan data dan informasi, juga tak jarang menyebabkan kesulitan dalam memilah dan mendahulukan mana yang seharusnya lebih didahulukan.

Perusahaan-perusahaan keuangan misalnya, yang berhubungan dengan banyak nasabah dan mencari banyak informasi nasabah, tak jarang juga mengalami kesulitan untuk menjaga validitas, kebersihan atau kesehatan datanya. Seringkali, karena sistem yang lebih interaktif, data satu orang nasabah bisa masuk atau dihimpun dengan berbagai konteks, yang masing-masing memiliki keterkaitan yang berbeda dan dengan atribut berbeda pula.

Nasabah bank, misalnya, yang merupakan direktur di salah satu perusahaan, namun juga direktur di beberapa perusahaan lainnya, bisa jadi menjadi masalah bagi suatu bank. Ini terutama terjadi jika bank tersebut tak menjaga kesehatan data nasabahnya. Karenanya, sangat mungkin, satu nasabah yang sebenarnya bermasalah, karena menghadapi kredit macet misalnya, namun karena data yang muncul terkait dengan konteks yang lain, yang didukung data dan informasi yang “dianggap” bersih, muncul sebagai nasabah yang manis dan baik.

Di sisi lain, keunggulan data dan informasi digital mudah digandakan, pada saat yang sama juga dapat menimbulkan kesulitan, karena seringkali Anda tak tahu bahwa data dan informasi yang menjadi tanggungjawab Anda telah juga digandakan oleh orang lain. Karena, betapapun data digital Anda telah dicuri atau digandakan orang lain, namun data Anda “tak hilang”. Berbeda kalau data Anda ada di arsip kertas, yang kalau diambil akan “hilang”.

Jika demikian kejadiannya, apakah komputerisasi membuat pekerjaan Anda menjadi lebih mudah? Boleh jadi risikonya malah jauh lebih berat!

Perlu Lebih Bijak

  • Posted: Sunday, September 25, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Selama ini, kita tahu, bahwa antara Telkom – penyedia komunikasi tetap (pontap) - dan operator penyedia komunikasi selular (ponsel) GSM (global system for mobile communications) tidak bersaing secara langsung, karena jasa yang dipasarkan berbeda. Tetapi, kalau pengguna ponsel meningkat sangat cepat, itu pun tidak serta merta mengurangi secara drastis pontap yang dikelola Telkom. Karena, sebagian besar pengguna ponsel juga masih menggunakan pontap, baik di rumah, di kantor atau di tempat-tempat tertentu lainnya.

Kita melihat bahwa kehadiran ponsel lebih memberikan alternatif dan juga ekstensi pasar, dan bukan sebaliknya mengancam keberadaan pontap. Telkom sendiri pun terbukti menjadi salah satu operator selular melalui pembangunan anak perusahaan yang mengelola layanan itu, yakni Telkomsel.

Saat ini, diperkirakan pengguna ponsel telah mencapai lebih dari 10 juta pengguna, yang memang jauh melebihi pengguna pontap yang sekitar 7 jutaan pengguna. Tetapi, pada saat yang sama, masih banyak anggota masyarakat yang membutuhkan, yang belum kebagian layanan pontap ini. Masalahnya, apakah kapasitas terpasang Telkom telah habis, kita pun tidak tahu. Faktanya, hingga hari ini, pengguna ponsel meningkat lebih cepat dibandingkan pontap. Selain kemudahan memperolehnya, ponsel sangat menarik bagi pengguna, terutama karena mobilitasnya, yang tidak dimiliki pontap.

Dengan mobilitas ini, pengguna dapat menggunakannya dari mana saja ia berada, tanpa tergantung harus di rumah atau dikantor. Bahkan sedang berjalan pun ia dapat dengan mudah menggunakan ponselnya. Selain itu, berbagai fitur juga menarik para pengguna, sehingga untuk itu ia bersedia membayar lebih mahal. Banyak hal yang tidak dapat dilakukan pontap, justru dapat dilakukan ponsel.

Namun, belakangan ini siapa sangka bahwa ponsel, terutama GSM berhadapan dengan suatu kenyataan yang membuatnya langsung harus berkompetisi secara ketat. Hal ini diinisiasi dengan munculnya layanan komunikasi nirkabel dengan fitur bergerak secara terbatas (limited mobility) yang diluncurkan oleh Telkom dengan nama TelkomFlexi.

TelkomFlexi merupakan layanan telepon tetap nirkabel (fixed wireless), baik untuk suara maupun data, yang memungkinkan pelanggan melakukan panggilan dan dipanggil pada posisi di mana pun selama berada di area flexi. Penggunanya akan dikenai tarif sama dengan tarif telepon tetap, tanpa biaya airtime sebagaimana pada ponsel. Dengan layanan ini pelanggan bisa melakukan komunikasi bergerak sepanjang berada di area flexi-nya.
Namun, secara teknologi, dengan menggunakan fitur automutasi, layanan ini dapat juga digunakan keluar area flexi sepanjang masih dalam cakupan satu kode area tertentu , misalnya Jakarta dengan kode area 021.

Kemampuan inilah yang kini tampaknya tengah mengancam keberadaan operator GSM dalam mengembangkan pelanggannya di masa datang. Betapa tidak, karena sepanjang masih di suatu area, seorang pengguna masih akan dapat berkomunikasi dengan tingkat mobilitas tinggi, namun dengan biaya yang lebih murah atau sama dengan penggunaan pontap. Hal ini akan sangat menarik, karena selain dapat meningkatkan lama pembicaraan, tetapi dengan biaya yang relatif lebih murah, gaya penggunaan ponsel masih tetap dapat diadaptasi di TelkomFlexi ini.

Selain itu, dari para pengguna ponsel yang sekarang ini ada, hanya 20 persennya saja yang selalu melakukan perjalanan ke luar kota, yang berarti berpindah ke kode area lain. Sementara 80 persen lainnya masih lebih banyak berada di satu kode area tertentu.

Tantangan ini terutama akan lebih memicu mereka-mereka yang banyak melakukan komunikasi di satu area karena adanya alternatif yang relatif sama namun dengan biaya yang lebih rendah. Meskipun ponsel memiliki kekayaan fitur, tetapi diperkirakan fitur-fitur itu bukan merupakan sesuatu yang utama dalam banyak kesempatan berkomunikasi. Sementara, layanan baru ini juga dapat digunakan untuk komunikasi data sebagaimana pada ponsel. Artinya, yang 80 persen ini yang diperkirakan akan menjadi sasaran layanan baru tersebut.

Layanan baru berbasis teknologi CDMA 2000-1X ini juga memungkinkan munculnya fitur-fitur yang lebih variatif melalui penciptaan value creation, yang akan berpihak kepada pengguna sepanjang tingkat affordability mereka benar-benar dipertimbangkan.

Hanya saja situasi ini akan memberikan inisiasi yang bukan saja kompetitif di antara para operator, tetapi juga memungkinkan penciptaan layanan-layanan baru yang semakin meningkat, yang diharapkan akan semakin menguntungkan posisi pelanggan.

Namun, perbincangan belakangan ini tampaknya lebih mengarah agar jangan terjadi lahan pertempuran (battleground) yang sama di antara keduanya, tetapi justru saling komplementer. Tetapi, kita harus sadar, bahwa perkembangan pesat teknologi sekarang ini harus menjadi pertimbangan penting untuk juga diikuti dengan kekuatan aturan (regulation power) yang memberikan kesempatan tumbuh yang relatif sama.

Karena hanya mengacu saja dengan teknologi, tanpa juga mempertimbangkan “ruang” bisnis yang cukup untuk perkembangannya, justru bukan tidak mungkin hanya akan mendorong “dominasi” yang sengaja atau tidak, semakin menyempitkan perkembangan bisnis di dalam negeri. Meski, saya setuju kepentingan pelanggan juga sangat perlu diperhatikan.

Efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan bisnis itu sangat penting, pilihan dan layanan yang berbasis teknologi yang beragam juga sama pentingnya. Pemenuhan kebutuhan pengguna dengan “biaya” yang reasonable juga sangat penting dipertimbangkan. Namun, hidupnya bisnis di bidang tersebut juga sesuatu yang juga sangat penting. Karenanya, bijaklah menangani hal ini. Jika tidak, yang muncul adalah dominasi, yang juga sama-sama tidak kita kehendaki, karena hal itu akan merugikan banyak pihak.

Paradoks

  • Posted: Friday, September 23, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Ketika membaca harian Business Times di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu, saya sempat tercenung sejenak. Di harian berbahasa Inggris itu dimuat berita bahwa pemerintah Malaysia mulai merealisasikan kerja sama dengan Rusia dalam menyiapkan kemampuan industri pesawat terbangnya dalam 10 tahun ke depan. Visinya jelas, bahwa Malaysia memiliki banyak pulau-pulau yang potensial dihubungkan satu sama lain dengan pesawat terbang. Karenanya, industri pesawat terbang menjadi kebutuhan di masa datang.

Sementara di dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), industri pesawat terbang nasional dengan puluhan ribu karyawan, kini tengah terpuruk dan menghadapi degradasi besar-besaran. Banyak tenaga ahlinya, yang sebelumnya disekolahkan di luar negeri dengan biaya yang tidak sedikit, tak lagi bekerja di sana. Perampingan organisasi pun tengah dilakukan. Itupun masih ditambah berita bahwa PTDI kini tengah ditawarkan untuk dijual ke pihak asing.

Sementara Malaysia dengan jumlah penduduk sekitar 22 juta saja berpikir untuk mengembangkan industri berteknologi tinggi itu, sebaliknya Indonesia justru terus mengumandangkan “kontroversi” bahwa yang dibutuhkan bukan pesawat, tetapi produk-produk pertanian. Sehingga keberadaan PTDI mengalami “pengecilan arti” dari esensi yang sesungguhnya. Tak sedikit pun kita menempatkannya secara lebih proporsional dan melihat potensinya di masa depan.

Kalau seorang Habibie, yang memang sejak awal membangun keahliannya dalam bidang konstruksi pesawat terbang, mampu membuktikan berhasil membuat pesawat terbang, mestinya yang muncul bukan kontroversi. Sebaliknya, hal itu justru menjadi tantangan bagi ribuan ahli bidang-bidang lainnya untuk juga membuktikan kemampuannya.

Di sisi lain, ketika Malaysia menyatakan diri siap membangun apa yang dikenal sebagai Multimedia Super Corridor (MSC), yang merupakan tiruan Silicon Valley-nya Amerika, Indonesia pun tak mau kalah dengan mengungkapkan konsep Nusantara 21, yang akan mencakup kawasan seluruh Indonesia. Berbagai tim kemudian dibentuk.

Namun, ketika proyek MSC kini benar-benar terwujud dan mulai membentuk diri sebagaimana yang diinginkan, konsep Nusantara 21 sepertinya sudah dilupakan. Kalau pun masih diakui eksistensinya lebih karena hal itulah yang ditangani Telkom, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Tetapi, sebagai konsep nasional yang menjadi katalisator dalam merealisasikan strategi negara-bangsa, Nusantara 21 telah gagal.

Sementara itu, MSC kini tengah dimekarkan agar mampu memberi dampak yang lebih luas, baik bagi industri maupun daya saing Malaysia, yang memang berambisi menjadi hub ICT (information and communication technology) regional.

Disadari atau tidak, sesungguhnya kita tengah berhadapan dengan pola-pola yang bersifat paradoks, inkonsisten. Inkonsistensi kini terjadi lebih meluas. Kita lebih tertarik untuk menegasikan sesuatu yang lama demi reformasi tanpa kecermatan untuk memilah, memilih dan kemudian meningkatkannya. Seolah-olah kita tak lagi memiliki gambaran dan rute masa depan yang jelas, yang secara konsisten kita bangun untuk selanjutnya menjadi fondasi peningkatan ke sesuatu yang lebih tinggi, setahap demi setahap.

Dalam lingkungan yang bersifat paradoks semacam itu, pandangan dan visi kita secara nasional mengenai ICT pun hampir-hampir tak terdalami dengan baik. Ibarat dalam suatu perusahaan yang menempatkan TI hanya sebatas salah satu bidang, begitu juga dalam konteks nasional. ICT masih belum dilihat dalam keseluruhan yang mendukung formulasi dan strategi nasional sebagai negara-bangsa dalam konteks peningkatan daya saing nasional melalui prioritas bidang-bidang tertentu yang dipilih.

Pengembangan ICT masih lebih dilihat sebagai salah satu industri, belum sebagai enabler pencapaian masing-masing bidang, yang tentunya telah memiliki visi dan strategi yang jelas. ICT bukan segala-galanya. Tanpa visi dan strategi yang jelas, ia tak mampu berperan.

Karenanya, menjelaskan “apa” yang akan kita capai ke depan bukan saja penting, tapi sangat strategis. Kemudian, meletakkan “dimana” ICT bisa berperan menjadi sama pentingnya. Dengan begitu, pernyataan “where ICT can help” tak sekaligus menempatkan “jika menggunakan ICT semuanya akan beres”. Melainkan, bagaimana kita “menempatkan” ICT dan “dimana ia bisa membantu” menjadi sangat penting untuk dicermati.

Kontroversi

  • Posted: Tuesday, August 23, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Kontroversi di seputar pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) oleh KPU pada sistem tabulasi suara pemilih dalam Pemilihan Umum, baik legislatif maupun presiden, masih terus berlanjut. Berbagai pandangan menghiasai kontroversi itu, yang tentu didasarkan pada alasan, nalar dan argumen-argumen yang dilihat dari sudut pandang tertentu yang dibawa oleh masing-masing yang berbeda pendapat itu.

Jamak rasanya ketika ada suatu perbedaan pendapat, masing-masing merasakan dirinyalah yang paling benar, yang paling nalar dalam mengajukan argumen, yang ujungnya berharap pandangannya itulah yang dibenarkan atau didukung untuk “memenangkan” opini publik. Dalam suatu kontroversi yang terkait dengan kepentingan publik, memenangkan opini publik menjadi sasaran yang niscaya.

Namun, dalam lingkungan masyarakat yang baru “berdemokrasi” seperti Indonesia dewasa ini, memenangkan opini publik tidak pada saat yang sama juga berarti memenangkan kepentingan publik dalam arti yang luas.

Bukan berarti pula bahwa perdebatan di negara-negara maju sudah pasti berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik yang lebih luas. Karenanya, yang mungkin masih bisa diharapkan adalah munculnya bentuk-bentuk “perimbangan” pandangan untuk menuju pada tataran yang lebih baik, yang tidak lebih dominan untuk kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan yang lain.

Kontroversi yang terjadi di seputar penerapan TI KPU pun mencuatkan sudut pandang yang berbeda pula. Keberagaman pemikiran dan sudut pandang, karena perbedaan latar belakang, pemahaman dan “kepentingan” juga mestinya memang diperhatikan. Namun, berbagai kepentingan itu seharusnyalah diletakkan pada tataran yang lebih luas, lebih tinggi dan lebih strategis, untuk memenuhi makna dasar tujuan penerapannya.

Kepentingan masyarakat untuk memperoleh informasi yang lebih akurat, sebagai representasi pilihannya dalam Pemilu, sistem TI yang lebih terbuka yang dapat secara langsung dicek oleh masyarakat, lebih cepat terakumulasi dan, pada saat yang sama, juga bisa dilakukan cek silang (cross check), mestinya menjadi perhatian dalam beragam pandangan itu.

Sebaliknya, kalau ada yang masih belum sempurna dalam penerapannya, karena masih minimnya sosialisasi penggunaannya, atau ada sesuatu yang perlu diklarifikasi dari realitas penggelarannya, baik menyangkut investasi, pemasangan, keandalan sistem dan lain sebagainya, tidak pada saat yang sama menegasikan kepentingan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi berbasiskan TI itu.

Secara hukum keabsahan itu, memang didasarkan pada hasil rekapitulasi tertulis yang diberikan oleh jajaran KPU dari yang paling bawah hingga ke KPU pusat. Namun menafikan penggunaan TI, berarti menghilangkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih terbuka, karena dapat diakses kapan saja dikehendaki; dan bisa ditelusuri hingga ke unit-unit penghitungan suara terkecil, yakni TPS.

Belum menjadikan TI sebagai dasar proses pemilihan dan sekaligus penghitungan suara, karena memang perlu suatu proses pembelajaran yang panjang, kesiapan yang lebih baik dan didukung oleh infrastruktur yang luas dan SDM yang berketrampilan, tetapi mestinya tidak menafikannya. Kalau ada yang salah, ya diperbaiki, kalau ada yang kurang, ya dilengkapi dan kalau ada kecurangan, yang diadili.

Namun, menghapuskan penerapannya, berarti menutup diri dari kemungkinan mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang penting. Karena kita percaya, bahwa suatu sistem TI yang dirancang dan diterapkan dengan sungguh-sungguh, bukan saja akan mendorong akurasi dan kecepatan proses dan pengumpulan data, melainkan juga memunculkan transparansi dan nilai-nilai strategis baru.

Di sisi lain, kita pun percaya, bahwa esensi dari demokrasi bukanlah dominasi, baik kekuasaan, informasi atau kepentingan, melainkan liberalisasi yang mendorong pencapaian yang lebih baik, lebih tinggi, dan lebih strategis. Terutama karena “persepsi dan pemahaman”, yang kemudian diikuti oleh penerapan atas sesuatu, menjadi lebih terbuka untuk dicermati dan sekaligus juga dikontribusi.

Karenanya, kontroversi atas nama demokrasi, mestinya juga menjadi esensi perambahan jalan menuju transparansi, tanggungjawab, dan pencapaian masyarakat yang lebih baik, bukan malah sebaliknya dominasi dan degradasi.