Mobile & Wireless is an Independent Blog Concerning Various Information, My Thoughts, Ideas, and Sometime Critics on ICT, Internet, Mobile, Wireless, and Data Communication Technology

Nilai dan Manfaat

  • Posted: Sunday, November 06, 2005
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Jakarta areal view - in the evening 2005

Disadari atau tidak, dianggap atau tidak, dipedulikan atau tidak, bangsa-bangsa di sekitar kawasan ini, katakanlah ASEAN saja, telah berkembang lebih maju dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Kebangkitan Malaysia misalnya, telah melambungkan bangsa melayu itu ke posisi yang jauh lebih tinggi dalam pergaulan dunia. Apalagi, Singapura yang dikenal sebagai “financial and business hub” di Asia Tenggara, jelas jauh lebih maju, baik birokasi maupun pencapaian yang diraihnya hingga saat ini.

Vietnam, yang selama bertahun-tahun pecah-belah karena peperangan yang panjang, dalam beberapa segi dikabarkan juga lebih maju dari Indonesia. Begitu juga, Thailand dan Filipina.

Namun, kalau hal ini diungkapkan maka pertanyaan yang selalu muncul adalah suatu bentuk pembelaan diri, yang terkadang justru berlebihan. “Dari aspek apa suatu negara itu dipandang lebih maju dari Indonesia, apaka ukurannya dan apa saja kelebihannya? Bukankah Indonesia lebih luas areanya, lebih banyak jumlah penduduknya dan lebih kaya sumberdaya alamnya? Apakah itu tidak menunjukkan bahwa bangsa Indonesia lebih besar, lebih kaya dan segala macam lebih lainnya. Sampai, pada satu titik, Indonesia lebih parah korupsinya di bandingkan negara-negara lain di Asia.

Sikap defensif semacam itulah yang tampaknya terus menerus ingin kita tunjukkan. Sikap pembelaan yang terkadang berlebihan itu, pada saat yang sama tidak juga ditunjukkan oleh perilaku yang lebih baik, baik di kalangan birokrasi maupun masyarakat luas. Korupsi masih terjadi di mana-mana, berbagai pelanggaran dan kontradiksi antara ucapan dan perilaku masih terus terjadi. Namun, di sisi lain, kita juga tak mau dikritik, apalagi kalau dituding.

Dalam konteks penerapan ICT, misalnya, Indonesia boleh dibilang belum memberikan dampak yang luas dan mendorong munculnya berbagai bisnis dan pendapatan baru yang lebih menarik minat para pelaku bisnis. Padahal, banyak negara yang telah menunjukkan tingkat kemajuan yang berarti dalam memanfaatkan ICT bagi berkembangnya industri peranti lunak, perangkat keras, penyelenggaraan negara (birokrasi) dan dunia pendidikan.

Pernah suatu kali, dalam wawancara khususnya dengan eBizzAsia, Jos Luhukay, Pengamat dan Praktisi Ekonomi Baru, mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia sesungghnya mewarisi suatu sejarah, dimana pemerintah praktis tidak mengambil posisi dalam teknologi informasi (ICT), sampai sekarang ini. “Kalaupun ada KOMINFO, ya akhirnya tidak jelas dalam teknologi informasinya. Pada akhirnya, kita tidak bisa memusatkan satu upaya dengan resource yang pas-pasan ini, sesuatu yang akan memajukan kita. Itu, nggak ada. Jadi, teknologi yang satu ini memang tidak dianggap sesuatu yang dapat memberdayakan bangsa,” ungkap Jos.

Sementara, Vietnam, dengan perkirakan pertumbuhan 7% per tahun, pada 2005 ini industri ICT domestiknya akan meraih pendapatan US$ 850 juta dan pada 2010 diperkirakan meningkat mencapai US$ 1.9 miliar, atau sebesar 3% dari total GDP sebesar US$ 60 miliar.

Sedang Filipina akan segera menerapkan apa yang disebut inisiatif The Philippine Cyberservices Corrridor (PCC) yang hampir sama dengan Multimedia Super Corridor (MSC) yang dibangun Malaysia. Selain itu, Filipina juga mengembangkan program ICT untuk UKM dan proyek database ICT. Inisiatif ini disebut ”One Million for ICT” yang merupakan proyek pendaftaran dan pemetaan profesional ICT yang diperkirakan akan selesai sebelum 2010. Dengan pemetaan tersebut, Filipina akan mengetahui secara cermat kapabilitas nasional dalam bidang ICT, baik jumlah profesional ICT-nya maupun keahlian dan ketrampilan yang dikuasainya.

Malaysia
Malaysia, yang dalam era pemerintahan Dr Mahathir Mohammad berhasil merumuskan apa yang mereka sebut “Vision 2020”, mungkin menarik untuk dijadikan contoh, meski belum tentu menjadi contoh yang ideal. Namun, apa yang dikembangkan Malaysia menampilkan suatu pola pikir yang jelas dan secara konsisten diterapkan didukung suatu mekanisme pelaksanaan yang kondusif dan kompetitif.

Berdasarkan Vision 2020 itu, Malaysia membangun suatu proyek prestisius, yang disebut Multimedia Super Corridor (MSC), yang dibangun pada 1997. Menempati lahan seluas 15x50 kilometer persegi, yang membentang antara Kuala Lumpur City Centre Towers (KLCC) dan Kuala Lumpur International Airport (KLIA), MSC dimaksudkan sebagai tempat terjadinya interaksi antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi pendidikan (SDM), sehingga membentuk suatu kawasan unggulan ICT.

Berdasarkan Vision 2020 itu pula, Malaysia kemudian membangun National Information Technology Agenda (NITA), yang berperan mendukung pengembangan suatu masyarakat dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Untuk mendukung arah pemberdayaan pengetahuan tersebut dibangun National Information Technology Council (NITC), yang berperan penting sebagai lembaga konsultasi atau penasihat bagi pemerintah dalam pemanfaatan ICT untuk kepentingan pembangunan nasional.

Sementara, MSC sendiri sepenuhnya dikelola oleh suatu institusi non-departemen, yakni Multimedia Development Corporation Sdn. Bhd. (MDC), yang terbukti memberi banyak kemudahan dan insentif bagi berkembangnya investasi kelas dunia dari berbagai industri berbasis TI.

Dewasa ini, lebih dari 2,700 perusahaan ICT telah memilih Malaysia sebagai tempat investasi mereka, baik industri perangkat keras, pengembang peranti lunak, komputer, konsultasi ICT dan lainnya. Sedang MSC sendiri per 13 Januari 2004, telah berhasil menarik minat 976 perusahaan berstatus MSC - 934 perusahaan teknologi ICT, 33 lembaga pendidikan tinggi ICT, dan 9 perusahaan inkubator bisnis.

Kalau tahun 2002 jumlah lapangan kerjanya mencapai 17,000 orang, akhir 2003 mencapai 21,270 orang, dan 2004 mencapai 22,398 orang. Sekitar 86% diisi oleh tenaga kerja berbasis pengetahuan (knowledge worker), dimana sebagian besar pekerja TI merupakan tenaga pengembang/pemrogram peranti lunak - 26% bergelar Doktor, 24% Master, 6% Sarjana, 10% Diploma dan 49% non-gelar.

Yang lebih menarik, lebih dari 15,337 pekerja TI yang bekerja di lingkungan MSC atau 82,2% dari total pekerja merupakan warga Malaysia. Dari 2,746 pekerja TI asing, 54,9 % berasal dari India dan selebihnya dari Inggris. Nilai penjualan yang dihasilkan mencapai total RM 3,93 miliar atau USD 1,04 miliar (2002). Tahun 2004 meningkat mencapai RM 7,98 miliar atau USD 2,1 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2003 yang sebesar RM 5,86 miliar atau USD 1,39 miliar. Selain itu, pada 2003, tak kurang dari 276 kekayaan intelektual, berupa paten, desain industri dan merek dagang telah terdaftar.

Saat ini, MSC telah memasuki tahap kedua pengembangannya (2004-2010), yang akan fokus dalam upaya menjadikan, baik produk maupun jasa ICT dalam negeri, menjadi ekspor andalan Malaysia di masa datang. Hal itu dilakukan bersamaan dengan diluncurkannya tujuh aplikasi unggulan, yakni: Electronic Government, Multipurpose Card, Smart School, Telehealth, R&D Clusters, e-Business, dan Technopreneur Development.

Mau Kemana?
Dari berbagai perbincangan yang penulis lakukan, sebagian besar profesional, baik yang terkait langsung dengan aspek pengembangan ICT maupun tidak, muncul ketidaksabaran untuk melihat bagaimana bangsa ini tidak mengambil posisi untuk mengoptimalkan ICT bagi banyak aspek perkembangan, utamanya birokrasi pemerintahan dan industri nasional pada umumnya.

Di sisi lain, apa yang dibangun Malaysia dengan MSC-nya, terbukti tak hanya terkait dengan industri ICT saja, melainkan seluruh industri terdorong untuk memanfaatkan ICT dalam upaya mencapai tujuannya, terutama bisnis. Sementara, pemerintah sendiri mengambil langkah yang jelas untuk mendorong kemajuan industri nasional dan pengembangan birokrasi nasional dalam menjadikan Malaysia negara yang kompetitif, baik dari segi kapabilitas nasional maupun sebagai tujuan investasi.

Inisiatif-inisiatif besar semacam itu yang justru tak terlihat di Indonesia. Sementara, industri berjalan sendiri dengan arahnya masing-masing dan dengan sumberdaya yang terbatas itu, Indonesia tak mampu mengoptimalkannya menjadi potensi yang besar. Bukan saja ICT sebagai potensi industri yang menjadi tren besar dunia, melainkan juga sebagai enabler pencapaian tujuan-tujuan nasional yang lebih besar melalui pencapaian di berbagai bidang, seperti pendidikan, jasa, kesehatan, perdagangan dan sebagainya.

Di satu perbincangan, seorang teman sempat mengungkapkan, seandainya saja Kementrian Kominfo dan BUMN mau benar-benar fokus untuk mendorong penerapan ICT di BUMN, katakanlah e-Procurement, misalnya, maka hal itu akan berdampak sangat luas. Bukan hanya diterapkan, tetapi benar-benar di”tegakkan” makna penerapannya, maka ia akan berdampak pada transparansi dan terwujudnya “Good Corporate Governance” dalam berbagai aspek pengelolaan BUMN. Jika hal itu bisa terwujud dalam lima tahun ke depan ini, mungkin kita bisa berharap ada gerak maju yang positif, khususnya di salah satu aspek.

Dan, ICT berpotensi mendorong banyak aspek, kalau tak mau disebut semua aspek, untuk menjadi lebih transparan, efisien, efektif dan produktif. Selain juga, tentunya, mendorong demokrasi dalam segenap aspek, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Semoga, bangsa ini mampu mengambil manfaat optimal.

1 people have left comments

sukmadewi mega said:

nice post pak, saya boleh kutip2 utk tulisan blog saya kah? dicantumin sumbernya kok,
salam
www.srikandiindonesia.wordpress.com

Commentors on this Post-