Mobile & Wireless is an Independent Blog Concerning Various Information, My Thoughts, Ideas, and Sometime Critics on ICT, Internet, Mobile, Wireless, and Data Communication Technology

Yah, Siapa Tahu

  • Posted: Friday, January 20, 2006
  • |
  • Author: pradhana
  • |
  • Filed under: My Column

Teknologi telekomunikasi 3G (3rd generation), belakangan semakin popular dan sering muncul di pemberitaan mass media, baik koran, majalah, radio maupun TV, negeri ini secara lebih intens. Pasalnya, pemerintah lagi getol-getolnya membenahi frekuensi 3G, yang dianggap akan menjadi layanan telekomunikasi masa depan. Bermodal 3G, pengguna bisa menikmati berbagai fitur terkini, seperti mendownload klip video, berselancar di Internet dengan akses lebih cepat dan berbagai aplikasi lainnya.

Konsekuensinya, terjadilah penggusuran terhadap operator-operator CDMA yang sebelumnya diizinkan berada di frekuensi peruntukan 3G itu. Penggusuran, pastinya menimbulkan kerugian di kalangan operator CDMA, baik itu investasi maupun pelanggan, yang selama ini telah menggunakan perangkat yang mengacu pada frekuensi tersebut. Contohnya Primasel, yang diperkirakan merugi hingga Rp300 miliar, karena operator ini sudah membangun infrastruktur telekomunikasi berbasis teknologi CDMA di Jawa Timur.

Belakangan, sebagai kelanjutan dari upaya “pembersihan itu”, pemerintah menetapkan bahwa proses perolehan frekuensi 3G dilakukan dengan sistem lelang. Ini pertamakalinya kalangan operator telekomunikasi diharuskan mengikuti lelang untuk memperoleh frekuensi. Meski sebelumnya, tidak demikian.

Saat ini, dua operator pendatang baru telah mengantongi lisensi 3G, yakni Natrindo Telepon Seluler (Lippo Telecom) dan Cyber Access Communications, yang merupakan warisan kebijakan pemerintah sebelumnya. Sementara, kalangan operator lama, seperti Telkom dan Indosat, termasuk Excel dan Telkomsel, yang notabena memiliki jutaan pelanggan, justru belum memiliki lisensi 3G. Karenanya, dalam lelang lisensi 3G, yang diperkirakan pemerintahan akan memperoleh sekitar Rp 4-5 triliun, ditetapkanlah standar harga tinggi dan lebih mendahulukan operator lama.

Peserta lelang juga harus sudah memiliki izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal dan telah mengoperasikan jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas, atau izin penyelenggaraan jaringan lainnya yang telah memiliki izin penggunaan pita frekuensi radio 1.9 GHz. Dalam lelang ini, peserta lelang akan memperebutkan lisensi penyelenggaraan layanan 3G dengan cakupan nasional dengan rentang frekuensi 1940-1955 MHz dan 2130-2145 MHz. Operator pemenang tender juga diharuskan untuk segera merealisasikan lisensi 3G yang dimilikinya itu.

Diharapkan, hanya operator yang benar-benar serius saja yang akan memperoleh lisensi itu. Hingga kini, sudah ada empat operator besar yang siap mengikuti lelang tersebut, yakni PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Excelcomindo Pratama Tbk, dan PT Telkomsel. Meski pemerintah juga masih memberikan kesempatan kepada lima operator lainnya, yaitu Mobile-8, PT Bakrie Telecom (Esia), Primasel, Wireless Indonesia (Win), dan Mandara. Padahal, pemerintah hanya mengalokasikan frekuensi untuk maksimal tiga operator, dengan lebar pita sebesar 15 MHz.

Namun, dengan upaya dan investasi yang besar, dimulai dari perolehan lisensi 3G yang dibeli dengan biaya tinggi, kalangan operator juga menghadapi situasi yang tidak mudah. Layanan 3G, bagi operator GSM (Global System for Mobile Communication), memang tampaknya menjadi pilihan di masa datang. Hanya mengharapkan layanan yang sekarang, meski telah disuntik dengan GPRS dan EDGE, ternyata masih tidak memadai sebagai titik pertumbuhan pendapatan.

Karenanya, kalau 3G dianggap sebagai suatu lompatan, lompatan itu jelas membutuhkan perhatian yang sangat besar, baik terkait dengan investasi, konten yang menarik pengguna, dan harga layanan yang boleh jadi tidak murah. Hal yang sama, sebenarnya juga dihadapi operator CDMA (Code Division Multiple Access), meskipun untuk ke depannya masih bisa berekspansi ke CDMA 1x-EVDO dan EVDV, sebelum benar-benar masuk di 3G.

Masalah krusialnya, pastikah ketika layanan 3G tersedia, para pengguna akan berbondong-bondong menggunakannya? Atau, justru sebaliknya, masih betah menggunakan layanan 2-2,5G yang ada selama ini, terutama karena pertimbangan biaya? Lebih jauh, akankah muncul berbagai aplikasi baru yang sangat menarik, yang dianggap akan menjadi killer app di jalur 3G, setidaknya sebagaimana SMS sekarang ini?

Di sisi lain, tantangan juga muncul dari kubu WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access), yang sampai saat ini diyakini akan muncul dengan gebrakannya sendiri. Meski, kalangan vendor meyakini, bahwa keduanya – 3G dan WiMAX – memiliki pangsa pasar masing-masing dan tidak saling mengganggu, tampaknya hal itu masih perlu dibuktikan kebenarannya. Jangan-jangan, justru terjadi perang bubad. Yah, siapa tahu?

0 people have left comments

Commentors on this Post-